Mohon tunggu...
I Gede Sutarya
I Gede Sutarya Mohon Tunggu... Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Lahir di Bangli, 8 November 1972 dari keluarga guru. Pendidikan SD sampai SMA di tempat kelahirannya Bangli. Menempuh Diploma 4 Pariwisata di Universitas Udayana selesai tahun 1997, S2 pada Teologi Hindu di IHDN Denpasar selesai tahun 2007, dan S3 (Doktor Pariwisata) di Universitas Udayana selesai tahun 2016.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kepentingan Dagang Dibalik Konstruk Konflik di Bali

14 Juli 2025   10:12 Diperbarui: 14 Juli 2025   10:12 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bali kini diterpa pertentangan dikotomi kelompok Dresta dan Non-Dresta Bali, sebab tumbuhnya berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ini memunculkan pemikiran-pemikiran perubahan tradisi. Pemikiran perubahan ini dilawan kelompok-kelompok pencinta tradisi karena tradisi adalah atraksi wisata. Kelompok perubahan melawan dengan alasan tidak mau Bali menjadi kebun binatang yang menjadi tontonan pariwisata. Pertentangan ini diperparah lagi elite lokal Bali dengan provokasi pertentangan Dresta Bali dan Sampradaya. Gerakan elite lokal ini memecah belah Parisada Hindu Dharma Indonesia menjadi dua kubu yaitu Kubu Parisada dan Parisada Pemurnian yang dimotori elite lokal Bali. Pasca perpecahan ini, elite lokal Bali merancang Majelis Desa Adat (MDA) menjadi pemersatu, tetapi MDA pun tidak lepas dari pertarungan kelompok feodalisme melawan kelompok modernisasi adat Bali. Karena itu, pertentangan dikotomi ini meluas di mana-mana.

Berkaca pada keruntuhan Majapahit, bahwa Majapahit tidak jatuh karena serangan kerajaan Demak. Tome Pires yang datang ke Jawa pada abad ke-16 Masehi menceritakan tentang perebutan kekuasaan antar keluarga raja, sehingga pada saat Tome Peres datang ke Jawa pada tahun 1511, ia mendapati Majapahit telah berkedudukan di Kediri, Jawa Timur dengan rajanya yang disebut Vyojaya (Ranawijaya). Kerajaan Demak ketika itu diceritakan mulai berkembang di pantai utara dengan dukungan orang-orang Moor. Karena itu, perpecahan pada Majapahit mengundang orang-orang asing di pantai utara yang disebut dengan orang-orang Moor. Orang-orang ini kelak mendukung negara boneka mereka untuk keperluan dagangnya (Corteso, 2017). Karena itu, Majapahit runtuh karena politik dagang di pantai utara, bukan karena pertentangan agama antara Demak dengan Majapahit.

Pada era kolonial, pertentangan tafsir agama ini dikelola apik kolonial Belanda sebab ini menjadikan pemerintah kolonial diperlukan untuk melindungi kedua kelompok tersebut. Pada tahun 1920-an, kolonial mengkonstruk kembali feodalisme Bali menjadi sistem kasta, yang secara umum dibagi menjadi dua kelompok yang dihadapkan yaitu kelompok Tri Wangsa dan Jaba. Kelompok Tri Wangsa adalah elite dengan pengikut setianya, sedangkan kelompok Jaba adalah kelompok rakyat biasa. Pertentangan kelompok ini dipicu kolonial dengan pengangkatan pejabat kolonial berdasarkan golongan Tri Wangsa, sehingga memicu protes kalangan Jaba.

Kedua kelompok ini kemudian bertarung dalam pemikiran Hindu modern menjadi penerbitan majalah Suryakantha untuk kelompok Jaba dan Bali Adnyana untuk kelompok Tri Wangsa (Nuryadi, 2022). Kalangan Suryakantha kemudian aktif dalam pergerakan nasional Indonesia sehingga mewarnai kebijakan-kebijakan awal Republik Indonesia dengan penghapusan hukum-hukum kasta yang menguntungkan kelompok Tri Wangsa. Penghapusan ini dijabarkan lagi dalam Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia tentang Catur Warna (Purana, 2018). Kedua kelompok ini masih tetap bertarung dalam era modern ini dengan berbagai bentuknya pada masa kini.

Pertarungan ini tidak terlepas dari berbagai tuduhan-tuduhan, sebab pertarungan gagasan tidak terlepas dari usaha saling tuduh menuduh. Pada era pertarungan Suryakantha (Jaba) dengan Bali Adnyana (Tri Wangsa), kelompok Suryakantha dituduh sebagai komunis (Nuryadi, 2022). Pada saat ini, kelompok perubahan dituduh sebagai Sampradaya atau ke-India-an, sedangkan kelompok non-perubahan disebut sebagai kelompok feodal. Tuduhan-tuduhan seperti ini adalah sisi-sisi dari pertarungan gagasan, yang tak akan pernah sepi dari usaha tuduh-menuduh dalam permainannya.

Pertarungan gagasan ini adalah biasa terjadi dalam masyarakat manapun, tetapi apabila pertarungan dilengkapi dengan provokasi elite untuk menghabisi kelompok lainnya dengan cara melanggar hukum maka itu adalah provokasi untuk memecah belah masyarakat sipil dalam konflik horizontal. Provokasi konflik horizontal biasanya dilakukan elite yang ingin berkuasa seperti konflik horizontal pada era kolonial (Kerepun, 2017; Nuryadi, 2022). Pada era kolonial, kepentingan Belanda adalah pengelolaan aset Bali untuk pariwisata yang mulai dibangun dan hasil bumi Bali.

Konflik horizontal yang dibangun sekarang ini melalui dikotomi Dresta dan Non-Dresta Bali, atau Dresta Vs Sampradaya adalah untuk kepentingan kekuasaan atas sumber daya alam dan budaya Bali. Konflik ini telah menyurutkan protes terhadap alih fungsi bentang alam di Serangan dan sekitarnya. Kawasan Serangan ini direncanakan untuk berbagai fasilitas mewah seperti sekolah, rumah sakit internasional, LNG dan yang lainnya. Pembangunan ini diperkirakan mendapatkan protes dari masyarakat Bali, karena itu masyarakat Bali perlu disibukkan dengan konflik-konflik internalnya. Hal ini yang menyebabkan konstruksi konflik Dresta Vs Sampradaya diprovokasi untuk menyepikan berbagai protes yang akan terjadi.

Konstruk konflik seperti ini mulai dilakukan dari zaman kolonial. Kolonial misalnya mengkonstruk kelompok Tri Wangsa dan Jaba. Kelompok ini dibiarkan berkonflik dengan maksud agar Belanda bisa menjadi penentu dari kedua kelompok ini. Kolonial juga menjadi penentu bagi pejuang-pejuang gelar kehormatan melalui Raad Kerta, sehingga banyak pada era itu, orang-orang mendapatkan gelar Gusti berdasarkan sidang Raad Kerta, yang oleh masyarakat disebut disebut dengan Gusti Vonis, atau Gusti berdasarkan vonis pengadilan Raad Kerta (Kerepun, 2017). Konstruk konflik pada saat ini, bisa juga dikonstruk untuk kepentingan-kepentingan modern saat ini, seperti bantuan dan kemudahan.

Berdasarkan analisis sejarah konflik ini maka dapat disimpulkan bahwa konflik sengaja dikonstruk untuk kepentingan dagang. Kepentingan dagang menggunakan elite politik untuk melakukan provokasi sehingga menimbulkan konflik horizontal. Konflik horizontal ini akan menyibukkan masyarakat sehingga masyarakat lupa untuk kritis terhadap berbagai kepentingan dagang yang terus menguasai aset-aset masyarakat lokal. Karena itu, masyarakat lokal harus waspada terhadap konstruk konflik seperti ini.

Masyarakat lokal harus kembali kepada kebijaksanaan para leluhur. Para leluhur tidak pernah keberatan terhadap berbagai perbedaan. Masyarakat yang memiliki dewa tersendiri misalnya dibiarkan membangun tempat suci pada pekarangan rumahnya. Mereka hidup berdampingan secara harmoni. Mereka tak pernah peduli terhadap dewa apapun yang disembah, asalkan mereka mau bergotong royong bersama untuk kepentingan bersama. Hal ini yang menyebabkan desa-desa di Bali bertahan selama berabad-abad karena desa adat menghormati hak-hak pribadi masing-masing.

(Prof.Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag adalah guru besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun