Juni 2025 adalah Bulan Soekarno, yaitu bulan untuk membicarakan Pancasila. Pancasila disebutkan sebagai ideologi bangsa yang berakar budaya kuat, sebab gagasan-gagasan ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial adalah gagasan-gagasan yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat Indonesia, tetapi banyak pihak menepis hal ini dengan menyatakan Pancasila adalah pergulatan pemikiran pendiri republik dengan pemikiran-pemikiran kritis barat. Hal ini masuk akal sebab para pejuang kemerdekaan melakukan pergulatan dengan pemikiran-pemikiran kritis barat seperti pemikiran Karl Marx, yang menjadi senjata pemikiran untuk kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Karena itu, kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia adalah berdasarkan kepada materialisme historis yaitu perjuangan untuk membebaskan diri dari eksploitasi manusia satu terhadap manusia lainnya.
Pembebasan eksploitasi manusia adalah gagasan awal kemerdekaan bangsa-bangsa yang dilatarbelakangi oleh revolusi Prancis (Covo & Maruschke, 2021). Pada usaha kemerdekaan ini, setiap pergerakan bangsa-bangsa mencari model pergerakannya sendiri. Model pergerakan bangsa Indonesia berada dalam debat model pergerakan komunis, pergerakan Islam (kalifah) dan pergerakan budaya (VLEKKE, 2008). Model pergerakan ini menjadi partai-partai yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia yaitu Partai Islam, Partai Komunis dan Partai Nasional. Penggalian Pancasila merupakan bagian integral dari perdebatan partai-partai tersebut.
Pada perdebatan itu, Partai Nasional mencarikan jalan tengah perdebatan dengan menggali budaya bangsa. Model ini mengikuti pergerakan nasional India yang menggali akar budaya bangsa untuk menjadi landasan kemerdekaan. Contohnya adalah pembangunan sistem pendidikan yang berakar kepada budaya bangsa India yaitu Santiniketan yang menjadi inspirasi pembangunan Taman Siswa di Indonesia (Irwin, 2021). Penggalian akar budaya bangsa ini terjadi juga pada pembangunan budaya politik, demokrasi dan ekonomi. Pada penggalian itu, Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo dan tokoh-tokoh yang lainnya menggali akar budaya bangsa pada catatan-catatan kuno Nusantara.
Pada penggalian tersebut, Pancasila sebagai pegangan hidup Raja Majapahit ditemukan dalam kitab Nagarakertagama (Wikipedea, 2025). Pancasila adalah lima displin dalam ajaran Buddha yang bersumber dari Kitab Vinaya Pitaka. Kitab Vinaya Pitaka ini bersumber dari tradisi yoga pada masyarakat Hindu yang telah berkembang dari zaman peradaban Mahenjo-daro dan Harappah sekitar 3.000 SM (Dhyansky, 1987). Karena itu, Pancasila digali dari akar budaya bangsa yang didialogkan dengan pemikiran pergerakan modern sehingga menjadi relevan untuk pergerakan bangsa.
Model penggalian akar budaya ini adalah model pergerakan nasional India yang dipimpin Gandhi. Gandhi mempromosikan budaya India sebagai fondasi kemerdekaan India. Gagasan-gagasan republik juga digali dari Ganarajya dalam teks-teks kuno (Sharma, 1968). Tokoh pergerakan Indonesia juga menggali gagasan-gagasan republik dari pemerintahan desa yang tersebar di desa-desa Indonesia. Sistem republik desa ini diterjemahkan sebagai musyawarah mufakat (Herutomo, 2019). Karena itu, ada dialog dalam merumuskan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan budaya bangsa antara pergerakan Indonesia dan India.
Dialog ini juga terjadi dalam penggalian akar budaya Ketuhanan yang menjadi sila pertama. Mahatma Gandhi sangat tekun mempromosikan sila pertama dalam Buddha yang disebut Ahimsa (tanpa kekerasan) dalam Hindu (DAN, 2021). Ahimsa ini juga disebut kasih sayang kepada semua makhluk. Kasih sayang terhadap semua mahkluk berasal dari konsep Ketuhanan dalam Hindu yang disebut Advaita. Advaita mengkonsepkan bahwa seluruh alam semesta ini adalah pancaran dari Tuhan, sehingga Tuhan dan seluruh alam beserta isinya adalah satu (Maheswari, 2022; Rajagopal, 2024). Karena itu, Pancasila mengungkapkan Ketuhanan yang Maha Esa, bukan Tuhan yang satu (Monotheisme). Ketuhanan yang Maha Esa artinya hanya satu Tuhan yang eksis pada seluruh alam semesta ini sesuai konsep Advaita. Karena itu, seluruh mahkluk harus saling mengasihi karena mereka sesungguhnya adalah satu (Tat twam asi, aku adalah engkau). Konsep ini adalah dasar dari Ahimsa yang dilaksanakan Mahatma Gandhi.
Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab berangkat dari dialog kemanusiaan barat dengan konsep satya dalam sila Buddha dan Hindu. Satya artinya jujur, yang merupakan sumber dari keadilan. Karena itu, memperlakukan manusia secara adil adalah foundasi yang terbangun dari Satya (kejujuran). Gandhi dalam pergerakan nasional India mempromosikan Satya dengan ketat (Ziaulhaq, 2018), sehingga Gandhi tidak pernah berbohong sekalipun sebab jujur menjadi displin hidupnya. Karena itu, kemanusiaan adalah berasal dari akar budaya bangsa kejujuran yang didialogkan dengan pemikiran barat.
Sila ketiga persatuan Indonesia adalah pengembangan dari sila Asteya, yang artinya tidak mencuri atau tidak mementingkan diri sendiri. Konsep Asteya adalah konsep hidup bersama, yaitu bahwa setiap orang hanya boleh mengambil secukupnya dari alam, yang merupakan hak hidupnya. Gandhi menyebut ini sebagai Satya Graha atau setia kepada tanah air. Kesetian ini adalah bentuk nasionalisme sebagai landasan persatuan, tetapi sebenarnya Asteya pengertiannya jauh lebih luas sebab menyangkut kesemestaan (DAN, 2021), karena itu Gandhi membatasinya menjadi Satya Graha.
Sila keempat yaitu musyawarah adalah pengembangan dari konsep Brahmacari atau belajar terus-menerus. Hal ini juga berarti setiap orang harus mengembangkan pemahaman kepada alam dan segala isinya. Pada pergerakan nasional India, Gandhi mengembangkan konsep ini sebagai foundasi dialog untuk menyelesaikan segala persoalan, bukan kekerasan (Ziaulhaq, 2018). Karena itu, budaya dialog dalam masyarakat Indonesia dan India dikembangkan menjadi foundasi demokrasi. Demokrasi yang berlandaskan musyawarah mufakat, yang artinya bukan tirani mayoritas.
Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah pengembangan dari sila Aprigraha yang artinya hidup sederhana. Hal ini berarti bahwa negara Indonesia mengembangkan semangat hidup berbagi, sehingga jurang antara kaya dan miskin bisa dipersempit. Konsep hidup sederhana ini adalah konsep dasar Mahatma Gandhi dalam pergerakan nasional India sebagai gerakan Swadeshi, atau menggunakan produk dalam negeri (Shaikh, 2024). Hubungan sila keadilan sosial dengan swadeshi menjadi landasan bagi pembangunan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga Soekarno mengembangkan swadeshi ini menjadi Berdikari dalam konsep Indonesia.