Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Indonesia: Negara Garam yang "Mengemis" Garam

28 Juni 2019   10:55 Diperbarui: 28 Juni 2019   11:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Indonesia sedang "dilema" soal garam. Sebagai Negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia masih harus mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi apa boleh buat? Negara kita belum kaya akan garam yang berkualitas. Kita pun harus mengakui keunggulan produksi negara lain yang lebih efisien menghasilkan garam berkualitas. 

Di samping karena mempunyai tambang garam dengan lokasi yang strategis terbentuk secara alami -- yang memiliki produksi garam hingga puluhan bahkan ratusan tahun ke depan -- mereka juga memiliki teknologi yang menjadikan segala sesuatu menjadi lebih mudah. 

Sedangkan di Indonesia, para petani garam harus menambang garam di pesisir pantai melalui cara penguapan air laut. Itu pun belum terhitung dengan musim hujan dan intensitas cahaya matahari yang cukup untuk penguapannya. Akibatnya kuantitas dan kualitas garam Indonesia masih belum memadai.

Sulitnya Menangkis Kualitas Impor Garam

Ketersediaan bahan baku menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang keberlanjutan produksi dan investor di sektor ekonomi. Garam merupakan salah satu komoditas strategis dan kebutuhan pokok yang memiliki peranan penting dalam dunia pangan dan industri. 

Garam hampir dikonsumsi semua orang dan digunakan sebagai zat yodium. Maka, industri penggaraman merupakan industri yang strategis dan terus berkembang.

Namun, produksi garam haruslah berkualitas. Untuk garam industri kimia (obat, pangan, kosmetik) kualitas minimal garam sangat bersih adalah kandungan kimia NaCl di atas 97 dan magnesium yang lebih rendah. 

Hanya daerah pantai tertentu saja yang mampu menghasilkan garam kualitas tersebut dan murni karena faktor alam. Pun demikian dengan keamanan produk pangan, industri juga mensyaratkan garam industri memiliki batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. 

Konsekuensinya jelas, Indonesia harus (lagi) mengimpor garam dari luar negeri. Import garam menjadi pilihan untuk menjaga ketersediaan garam dalam negeri untuk kebutuhan industri maupun konsumsi.

Kualitas garam petani garam sejauh ini baru memenuhi kualitas garam konsumsi dan belum memenuhi kualitas garam industri. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti juga mengakui bahwa impor garam adalah jalan terbaik memenuhi kebutuhan garam Nasional. 

Selain karena harganya murah, kualitas garam impor pun sesuai dengan permintaan pada sektor industri. Meskipun ada cita-cita mulia dengan menjadi negara swasembada garam pada tahun 2021, namun hingga saat ini kita masih belum beranjak dari persoalan penggarapan lahan dan minimnya teknologi dan pembinaan kepada petani garam.

Akibat dari semuanya itu, indikasi langsungnya ialah para petani garam masih sulit mengembangkan ekonominya sendiri. Di samping harus "mengemis" soal cuaca yang tidak menentu, mereka juga harus "mengemis" pada para tengkulak karena persoalan harga. 

Mereka ingin mandiri dengan menentukan harganya sendiri tapi keadaan mendesak mereka untuk bertahan dalam keadaan yang sama. Para petani garam belum cukup "makan garam" pada persoalan demikian. Para petani garam yang sedang terhimpit itulah Indonesia.

"Cuci Tangan" ala Tengkulak Garam 

Pada dasarnya semua perdagangan termasuk garam tidak bisa terlepas dari peran pedagang perantara terutama tengkulak untuk memudahkan tukar menukar barang. Sebagai pelaku pasar, tengkulak mempunyai peran yang sangat penting mengenai keadaan pasar yang sebenarnya. Sehingga akhirnya tengkulaklah yang menentukan harga garam kepada petani.

Permasalahan pemasaran pun masih saja menjadi momok utama karena adanya dominansi tengkulak dalam saluran pemasaran garam. Peranan tengkulak begitu besar sehingga petani tidak mampu meningkatkan posisi tawarnya. 

Dampaknya, petani garam harus kembali mengandalkan tengkulak dalam hal penyediaan modal. Begitu seterusnya perputaran ini. Antara petani garam dan pedagang pengumpul atau tengkulak seolah menjadi lingkaran setan yang tidak dapat lagi diputus mata rantainya. 

Di sisi lain, pelaksanaan impor garam dijadikan sebagai ladang keuntungan bagi para mafia garam. Adanya problematika distribusi yang ditandai dengan terjadinya persaingan pasar yang tidak seimbang antara petani garam dengan tengkulak dan adanya indikasi kartel pembelian merupakan persoalan riskan dalam perekonomian. Inilah tujuan kartel yang terlihat ke arah monopoli untuk meniadakan persaingan. 

Jika hal ini terjadi maka pelaku usaha bebas menentukan harga. Harus diakui bahwa terpenuhinya beberapa indikator kartel yang menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi garam lokal terjadi tidak semata-mata karena tindakan rasional -- tujuan dari tengkulak dan pemilik tambak ataupun tindakan tradisionalis petani -- tetapi juga lemahnya peran pemerintah sebagai institusi distribusi yang terlihat pada revisi peraturan menteri perdagangan No. 125/M-DAG/PER/12/2015.

Secara kasat mata, sistem ekonomi kapitalis telah menjerat kehidupan petani garam. Adanya penetrasi sistem ekonomi kapitalis tercermin dari moda produksi kapitalis diekspresikan dalam proses produksi yang dikendalikan oleh pabrikan, agen, tengkulak dan petani besar. 

Hubungan produksi yang terbangun pun berstruktur buruh-majikan. Maka hubungan produksi yang terbangun lebih bercorak komunal dan egaliter, tidak ada kompetisi dan eksploitasi. Margin pemasaran dikuasai oleh tengkulak dan pabrik. 

Keuntungan yang seharusnya diterima oleh petani justru diterima oleh mereka. Maka peta pasar persaingan di tingkat petani garam adalah pasar persaingan monopolistik dan struktur pasar persaingan tingkat pedagang tengkulak adalah pasar persaingan oligopsoni dimana pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas garam.

Para Petani Garam sedang "Mengemis" Garam 

Kondisi usaha garam yang terjadi di Indonesia tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun. Hal tersebut disebabkan adanya kelemahan dalam industri produksi garam nasional. Adanya impor garam memberikan keuntungan bagi pedagang asing, sebaliknya impor garam menyebabkan menurunnya harga garam produksi lokal. 

Hal tersebut menjatuhkan semangat petani yang dapat berdampak semakin rendahnya kualitas garam yang diproduksi. Selain itu, kemampuan petani garam untuk meningkatkan harga garam terlalu minim, keterbatasan pengetahuan mengakibatkan kebergantungan petani garam terhadap makelar penetuan harga pasar. 

Tantangan Indonesia dalam pengembangan industri garam salah satunya yaitu peningkatan kualitas hasil produksi yang masih relatif rendah serta ketersediaan lahan. Pengaturan regulasi dan tata niaga garam pun menjadi tantangan lainnya. Semuanya itu menuntut adanya strategi untuk memperbaiki pola produksi dalam industri garam.

Pertama, diperlukannya lahan untuk tambang garam di beberapa daerah yang berpotensi memiliki kualitas garam industri dan konsumsi dimana lahan tersebut bersertifikat langsung oleh pemerintah bukan oleh para pemilik lahan tunggal atau swasta.

Kedua, kebijakan impor garam oleh pemerintah haruslah diimbangi dengan pemberdayaan petani garam lokal. Pemberdayaan ini mengacu pada meningkatnya potensi-potensi dalam diri masyarakat sebagai modal kemandirian masyarakat. 

Selain itu pemberdayaan juga dikaitkan dengan cara produksi garam menggunakan peralatan teknologi yang memadai. Hal ini dikarenakan teknologi yang digunakan oleh petani masih sangat sederhana dan konvensional dengan masih sangat bergantung pada faktor alam.  

Tentunya pengadaan peralatan teknologi untuk meningkatkan produksi garam sangat dibutuhkan para petani garam. Kincir angin, glindingan dan garok mungkin hanyalah peralatan sederhana untuk membantu mereka. Teknologi geomembran atau isolator pun masih asing di telinga mereka. 

Karena itu pembinaan yang berkelanjutan hendaknya diaktualkan dalam proses produksi agar mereka mendapatkan pengetahuan yang baru tentang cara penggaraman yang baik dan benar.

Ketiga, tidak ada yang bisa menjamin bahwa garam impor yang dimaksudkan untuk kebutuhan industri ternyata menyerap ke dalam garam konsumsi, sehingga pasar garam petani lokal menjadi lesu sementara produksi melimpah. 

Maka perlunya pembentukan buffer stock (stok penyangga) untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan kebutuhan pangan nasional. stok penyangga ini diberlakukan di beberapa daerah yang berpotensi memiliki kualitas garam yang memadai.

Keempat, persoalan distribusi garam. Import garam konsumsi akan merugikan petani lokal lantaran harga garan tersebut terlampau murah. Harga impor garam hanya Rp600 per kilogram sedangkan harga garam diteken pada harga Rp750 hingga Rp1200 per kilogram. Petani garam sebenarnya bisa juga menjual harga yang sama namun persoalan distribusi tidak bisa dielakan karena distribusi ke luar provinsi ongkosnya mahal. 

Sedangkan garam impor bisa murah karena mengirimnya dalam jumlah container yang banyak. Karena itu diperlukan uluran tangan pemerintah dalam hal tol laut yang menyentuh hingga pada tempat penambangan garam agar produksi garam konsumsi tidak menjadi sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun