Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara Kepentingan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan : Penambangan di Raja Ampat dalam Lensa Perencanaan Wilayah

9 Juni 2025   03:39 Diperbarui: 9 Juni 2025   03:39 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepulauan Raja Ampat (sumber: sergap.id)

Oleh: Ahmad Syaifullah

Kabupaten Raja Ampat, yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya, telah lama dikenal sebagai "Surga Tropis" dunia karena kekayaan biodiversitas lautnya yang luar biasa. Dengan lebih dari 600 jenis karang dan sekitar 1.700 spesies ikan, wilayah ini menjadi pusat keanekaragaman hayati laut global yang diakui oleh para ahli biologi laut dunia (kkprajaampat.com). Ekosistem laut yang masih relatif murni ini menjadikan Raja Ampat sebagai lokasi penting dalam upaya konservasi internasional.

Namun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, antara 2020 hingga 2024, laju ekspansi kegiatan pertambangan, khususnya tambang nikel, mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan data terbaru, lahan tambang yang semula hanya beberapa ratus hektar kini telah berkembang menjadi sekitar 22.420 hektar. Peningkatan ini memicu kekhawatiran serius akan potensi kerusakan lingkungan di kawasan yang seharusnya dilindungi (mcpr.komitmen.org; reddit.com).

Operasi pertambangan tersebar di berbagai pulau kecil di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele. Ironisnya, lokasi-lokasi ini berada sangat dekat dengan kawasan konservasi laut dan taman nasional, yang seharusnya menjadi zona bebas dari kegiatan ekstraktif. Keberadaan tambang di wilayah ini menimbulkan konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan pada Maret 2024 yang menegaskan bahwa pulau-pulau kecil dengan ekosistem rentan harus mendapatkan perlindungan maksimal dari kegiatan ekstraktif seperti tambang. Putusan ini menjadi dasar hukum penting dalam upaya menolak eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta di wilayah seperti Raja Ampat.

Dalam kacamata perencana wilayah, ekspansi tambang ini tidak hanya melanggar prinsip tata ruang berkelanjutan, tetapi juga merusak logika zonasi konservasi yang telah ditetapkan. Tata ruang yang seharusnya membedakan zona inti konservasi dari zona pemanfaatan terbatas kini menjadi bias oleh tekanan ekonomi. Ketimpangan ini berisiko merusak fungsi ekologis dan estetika wilayah tersebut. Dampak ekologis dari penambangan nikel sudah mulai terlihat. Sedimentasi yang berasal dari galian tambang dan tailing logam berat akan mengalir ke laut, menutup penetrasi cahaya matahari ke dasar laut. Akibatnya, proses fotosintesis pada terumbu karang terhambat, mengancam ekosistem dasar laut yang menjadi habitat penting bagi banyak spesies endemik (binus.ac.id; mcpr.komitmen.org).

Akibat terganggunya proses alami tersebut, terumbu karang menjadi tidak sehat dan mati perlahan. Ini berdampak langsung pada keberadaan spesies dilindungi seperti penyu sisik dan ikan pari manta, yang merupakan ikon pariwisata alam Raja Ampat. Penurunan kesehatan ekosistem ini juga mengancam keberlanjutan sektor ekowisata yang menjadi sumber ekonomi utama masyarakat lokal. Selain itu, aktivitas tambang juga menyebabkan akumulasi logam berat seperti nikel di padang lamun dan hutan mangrove. Kedua ekosistem ini memiliki peran krusial dalam penyerapan karbon serta sebagai pelindung alami dari abrasi pantai. Kontaminasi logam berat menyebabkan kemunduran kualitas lingkungan dan memperburuk kualitas air laut yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir untuk kehidupan sehari-hari.

Perubahan ekosistem ini pada saatnya akan memaksa para nelayan tradisional untuk mencari lokasi tangkapan yang lebih jauh karena ikan-ikan telah menjauh dari wilayah yang tercemar. Hal ini berdampak langsung terhadap pendapatan dan biaya operasional nelayan, serta meningkatkan ketergantungan ekonomi pada sektor yang tidak ramah lingkungan. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperparah ketimpangan sosial-ekonomi di wilayah pesisir.

 Penolakan terhadap aktivitas tambang tidak hanya datang dari aktivis lingkungan, tetapi juga dari masyarakat adat. Di Pulau Batan Pele dan Manyaifun, masyarakat adat menyuarakan penolakan tegas terhadap pertambangan. Mereka menilai bahwa pertambangan tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kearifan lokal dan menggusur ruang hidup komunitas adat (aman.or.id).

Tiga organisasi masyarakat adat  AMAN, BPAN, dan WAIBAR  telah membentuk koalisi untuk menekan pemerintah agar menyusun kebijakan perencanaan wilayah yang berpihak pada komunitas lokal dan keberlanjutan lingkungan. Mereka menilai bahwa praktik perencanaan saat ini terlalu dikendalikan oleh kepentingan oligarki tambang, bukan oleh suara masyarakat yang terdampak langsung (aman.or.id).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun