Oleh: Ahmad Syaifullah
Kabupaten Raja Ampat, yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya, telah lama dikenal sebagai "Surga Tropis" dunia karena kekayaan biodiversitas lautnya yang luar biasa. Dengan lebih dari 600 jenis karang dan sekitar 1.700 spesies ikan, wilayah ini menjadi pusat keanekaragaman hayati laut global yang diakui oleh para ahli biologi laut dunia (kkprajaampat.com). Ekosistem laut yang masih relatif murni ini menjadikan Raja Ampat sebagai lokasi penting dalam upaya konservasi internasional.
Namun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, antara 2020 hingga 2024, laju ekspansi kegiatan pertambangan, khususnya tambang nikel, mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan data terbaru, lahan tambang yang semula hanya beberapa ratus hektar kini telah berkembang menjadi sekitar 22.420 hektar. Peningkatan ini memicu kekhawatiran serius akan potensi kerusakan lingkungan di kawasan yang seharusnya dilindungi (mcpr.komitmen.org; reddit.com).
Operasi pertambangan tersebar di berbagai pulau kecil di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele. Ironisnya, lokasi-lokasi ini berada sangat dekat dengan kawasan konservasi laut dan taman nasional, yang seharusnya menjadi zona bebas dari kegiatan ekstraktif. Keberadaan tambang di wilayah ini menimbulkan konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan pada Maret 2024 yang menegaskan bahwa pulau-pulau kecil dengan ekosistem rentan harus mendapatkan perlindungan maksimal dari kegiatan ekstraktif seperti tambang. Putusan ini menjadi dasar hukum penting dalam upaya menolak eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta di wilayah seperti Raja Ampat.
Dalam kacamata perencana wilayah, ekspansi tambang ini tidak hanya melanggar prinsip tata ruang berkelanjutan, tetapi juga merusak logika zonasi konservasi yang telah ditetapkan. Tata ruang yang seharusnya membedakan zona inti konservasi dari zona pemanfaatan terbatas kini menjadi bias oleh tekanan ekonomi. Ketimpangan ini berisiko merusak fungsi ekologis dan estetika wilayah tersebut. Dampak ekologis dari penambangan nikel sudah mulai terlihat. Sedimentasi yang berasal dari galian tambang dan tailing logam berat akan mengalir ke laut, menutup penetrasi cahaya matahari ke dasar laut. Akibatnya, proses fotosintesis pada terumbu karang terhambat, mengancam ekosistem dasar laut yang menjadi habitat penting bagi banyak spesies endemik (binus.ac.id; mcpr.komitmen.org).
Akibat terganggunya proses alami tersebut, terumbu karang menjadi tidak sehat dan mati perlahan. Ini berdampak langsung pada keberadaan spesies dilindungi seperti penyu sisik dan ikan pari manta, yang merupakan ikon pariwisata alam Raja Ampat. Penurunan kesehatan ekosistem ini juga mengancam keberlanjutan sektor ekowisata yang menjadi sumber ekonomi utama masyarakat lokal. Selain itu, aktivitas tambang juga menyebabkan akumulasi logam berat seperti nikel di padang lamun dan hutan mangrove. Kedua ekosistem ini memiliki peran krusial dalam penyerapan karbon serta sebagai pelindung alami dari abrasi pantai. Kontaminasi logam berat menyebabkan kemunduran kualitas lingkungan dan memperburuk kualitas air laut yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir untuk kehidupan sehari-hari.
Perubahan ekosistem ini pada saatnya akan memaksa para nelayan tradisional untuk mencari lokasi tangkapan yang lebih jauh karena ikan-ikan telah menjauh dari wilayah yang tercemar. Hal ini berdampak langsung terhadap pendapatan dan biaya operasional nelayan, serta meningkatkan ketergantungan ekonomi pada sektor yang tidak ramah lingkungan. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperparah ketimpangan sosial-ekonomi di wilayah pesisir.
 Penolakan terhadap aktivitas tambang tidak hanya datang dari aktivis lingkungan, tetapi juga dari masyarakat adat. Di Pulau Batan Pele dan Manyaifun, masyarakat adat menyuarakan penolakan tegas terhadap pertambangan. Mereka menilai bahwa pertambangan tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kearifan lokal dan menggusur ruang hidup komunitas adat (aman.or.id).
Tiga organisasi masyarakat adat  AMAN, BPAN, dan WAIBAR  telah membentuk koalisi untuk menekan pemerintah agar menyusun kebijakan perencanaan wilayah yang berpihak pada komunitas lokal dan keberlanjutan lingkungan. Mereka menilai bahwa praktik perencanaan saat ini terlalu dikendalikan oleh kepentingan oligarki tambang, bukan oleh suara masyarakat yang terdampak langsung (aman.or.id).
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat memiliki kewenangan untuk mengevaluasi izin lingkungan, namun mereka mengakui adanya keterbatasan dalam mengontrol aktivitas tambang karena perizinan berada di tangan pemerintah pusat. Ketimpangan antara otoritas pusat dan daerah ini menjadi penghambat utama dalam upaya penegakan perencanaan wilayah berbasis keadilan ekologis.
Menanggapi tekanan dari publik dan komunitas lokal, pemerintah pusat sempat menghentikan sementara aktivitas tambang di beberapa pulau, seperti Gag, Kawe, dan Manuran, untuk melakukan evaluasi atas AMDAL dan dokumen perizinan lainnya. Meski langkah ini dianggap progresif, namun banyak pihak menilai bahwa penghentian sementara tidak cukup untuk mencegah kerusakan jangka panjang.
Di sisi lain, permintaan global terhadap nikel terus meningkat seiring dengan tren produksi kendaraan listrik. Hal ini menyebabkan tekanan besar terhadap Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, untuk terus membuka konsesi tambang baru. Namun, ekspansi ke wilayah sensitif seperti Raja Ampat jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata ruang ekologis.
Untuk menjawab konflik antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan, dalam perspektif perencana wilayah menyarankan beberapa langkah strategis. Di antaranya adalah revisi zonasi ruang laut dan darat berbasis data ekologi, penguatan proses AMDAL yang partisipatif, pemantauan ketat sedimentasi tambang, dan pelaksanaan reklamasi pasca-tambang. Selain itu, pengembangan ekonomi alternatif seperti ekowisata dan perikanan berkelanjutan harus diperkuat sebagai pilar masa depan Raja Ampat yang berkeadilan dan lestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI