"Kalian sakit, karena kurang piknik." Begitu ucap suamiku pagi itu.
Mendadak aku semringah. Bisa jadi itu kode, kalau ia akan mengajak kami jalan-jalan.
"Masyaallah, Bang. Paham banget sih," balasku mencubit perutnya yang sedikit buncit itu. Ia nampak meringis.
"Ya udah cepat berkemas," sambung suamiku lagi.
Tuh, benarkan? Mungkin ia sudah bosan mendengar aku mengeluh badanku sakit setiap hari. Â Maka hari ini ia bermaksud membawa kami jalan-jalan. Â
Tanpa menunggu lama, aku dan anak-anak segera berkemas. Semangat yang tadi sempat menguap entah ke mana, kini kembali lagi dengan semangat membara.
Setelah semuanya siap, kami pun segera berangkat, jadilah seharian itu kami singgah dari satu tempat ke tempat lain. Menyelesaikan urusan yang selama ini tertunda, ataupun bersilaturahmi ke tempat saudara yang telah lama direncanakan. Â
Yups ... belakangan kami memang jarang bepergian ke luar kota. Hampir setahun ini kami tidak lagi mempunyai kendaraan roda empat. Padahal mobilitas kami di jalanan, sangatlah tinggi. Maklum kami LDR lebih dari lima tahun.
Maka, pada libur semester ini, aku dan anak-anak memilih menghabiskan waktu liburan di kota tempat suami bekerja. Salah satu quality time ala kami dalam merawat cinta.
Di tengah mobilitas perjalanan yang tinggi, tambah lagi sekarang, anak pertamaku masuk sekolah berasrama yang jarak tempuhnya, sekitar tiga jam perjalanan dari tempat kami tinggal. Berada di tengah-tengah aku dan suami menetap. Jadi dapat dibayangkan bagaimana vitalnya kebutuhan roda empat bagi kami. Namun, mengingat ada tiga dapur yang harus dipenuhi setiap bulannya, maka untuk sementara kami pun harus menunda keinginan itu terlebih dahulu.
Berkali-kali tergoda meminjam uang di bank kembali, tetapi sejauh ini masih bisa menahan diri. Karena mengingat alasan itu pula, yang membuat kami melepas kendaraan terdahulu, yaitu untuk memutus mata rantai rezeki yang bersifat ribawi.