Mohon tunggu...
Hurin In
Hurin In Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Mahasiswi di UIN Malang yang sedang menekuni minat kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimanakah makna "mampu" yang sebenarnya dibutuhkan untuk menikah?

6 Juli 2025   06:00 Diperbarui: 5 Juli 2025   00:47 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir akhir ini, jagad media sosial diramaikan pada tagar #marriageisscary, #childfree, dan #livingtogetherbeforemarriage. Pemicu dari tagar ini ialah banyak hal yang membuat kalangan anak muda sekarang memutuskan untuk menunda pernikahan. Alasan nya beragam, mulai dari maraknya perceraian di Indonesia, yang mengalami peningkatan tiap tahunnya, hingga alasan finansial yaitu ingin mapan secara finansial. Hal ini menarik, karena dengan kebutuhan hidup yang semakin hari semakin naik, maka pernikahan bukanlah menjadi solusi apabila pasangan belum mampu ataupun mapan secara finansial maupun psikis. Pentingnya kemampuan yang dijadikan tolak ukur untuk kesiapan menikah, ialah mampu dalam segi ekonomi juga jiwanya. Dalam hadist Nabi disebutkan, 

:

Artinya: "Shahih Bukhari 1772: Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata: Ketika aku sedang berjalan bersama 'Abdullah radliyallahu 'anhu, dia berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika itu Beliau bersabda:

"Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya."

Kata mampu disini oleh para ulama dimaknai pada dua hal, mampu dalam bersetubuh dan mampu dalam menanggung beban pernikahan. Beban pernikahan disini ialah semua hal yang akan terjadi kedepannya dalam pernikahan, maka seseorang akan bertanggung jawab penuh untuk mengatasinya. Oleh karena itu, selama dia mampu dan percaya diri untuk dapat melakukan sebuah janji suci dengan seseorang lewat pernikahan, maka seseorang siap untuk menanggung segala konsekuensinya. 

Masalahnya, untuk dapat merasa mampu dan percaya diri tetaplah dibutuhkan adanya persiapan untuk melakukannya. Dalam segi ekonomi misalnya, seseorang hendaknya sudah memiliki akan gambaran bagaimana dan apa yang bisa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan biduk rumah tangga yang akan dibangun. Tidaklah dikatakan cukup, sebuah niat akan memperbaiki hidup menjadi lebih baik apabila pondasi dari keuangan yang dimilikinya tidaklah kokoh. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebutuhan akan terus bertambah seiring waktu maka dibutuhkan sebuah gambaran finansial untuk mencukupinya. Memang, apabila mengikuti dari pada zaman Nabi Muhammad SAW yang banyak dikalangan shahabat yang melakukan pernikahan tanpa adanya kecukupan dalam finansial, yang terpenting ialah kemauan maka hukum menikah menjadi boleh dan tidak perlu untuk menunggu mapan. Akan tetapi, untuk sekarang, di era saat ini, apakah itu masih bisa dijadikan acuan? mengingat angka kemiskinan yang semakin meningkat, juga perceraian dengan alasan merasa kurang dalam segi finansial. Untuk itu, niat dan rasa percaya diri saja tidaklah dikatakan cukup untuk dapat menjalin sebuah pernikahan. 

Pada segi mampu secara fisik, maka seseorang tersebut ialah memiliki fisik dan jiwa yang kuat dan sehat. Jiwa dalam hal ini mencakup pada kemampuan mengelola emosi atau emotional intelligence yang artinya seseorang sudah dewasa dan mampu mengenali diri sendiri dan memahami pada orang lain. Mengapa hal ini penting? karena dengan kemampuan pengelolaan emosi yang baik, maka akan menumbuhkan karakter yang baik pula. Dan hal itu tidak akan berakhir menjadi sebuah KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) atau perceraian yang diakibatkan pada rasa tidak cocok dengan pasangan. Komunikasi yang baik dengan pihak lain pun dapat dilakukan apabila seseorang tersebut mampu dalam mengelola emosi yang dimilikinya. 

Maka, hal yang dibutuhkan dalam menikah ialah mampu secara finansial, juga mampu pada fisik dan jiwanya. Tidaklah dikatakan cukup seseorang tersebut hanya bermodalkan keinginan untuk menikah tanpa adanya kesiapan yang harus dilakukan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti dalam hadist diatas, maka apabila ia tidak mampu hendaknya berpuasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun