Di tengah derasnya arus globalisasi budaya yang semakin mengikis batas-batas geografis dan nilai-nilai lokal, peran santri kembali menemukan urgensinya. Santri bukan hanya identik dengan sarung, kitab kuning, dan pesantren yang sederhana. Lebih dari itu, santri adalah simbol kebijaksanaan, moralitas, dan cinta tanah air yang berakar dari nilai-nilai keislaman. Ketika budaya global membawa gaya hidup serba instan, pragmatis, dan konsumtif, santri hadir sebagai penjaga jati diri bangsa, yang meneguhkan bahwa nasionalisme dan religiusitas bisa tumbuh berdampingan, bukan saling meniadakan.
Santri dan Jejak Nasionalisme Sejak Awal
Kalau kita menengok sejarah bangsa ini, santri bukan pemain baru dalam urusan kebangsaan. Dari masa perjuangan melawan penjajah, hingga masa mempertahankan kemerdekaan, santri selalu berada di garis depan. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digelorakan KH. Hasyim Asy'ari menjadi bukti betapa cinta tanah air tidak pernah lepas dari keyakinan iman. Seruan jihad kala itu bukan sekadar ajakan perang, tetapi panggilan moral untuk mempertahankan martabat bangsa dari penjajahan.
Dalam konteks itu, nasionalisme santri tidak pernah berseberangan dengan agama. Santri memahami bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, sebagaimana makna hadis Nabi :
>
"Cinta tanah air adalah bagian dari iman."
Walaupun hadis ini lemah secara sanad, maknanya kuat secara substansi. Dalam Islam, menjaga negeri, mencintai tanah air, dan berbuat untuk kemaslahatan rakyat adalah bagian dari manifestasi keimanan. Maka tidak mengherankan bila sejak awal kemerdekaan, pesantren menjadi pusat pergerakan nasional dan pembentuk karakter kebangsaan yang kuat.
Santri tumbuh dalam atmosfer cinta tanah air yang tulus. Mereka belajar bahwa agama dan nasionalisme bukan dua hal yang bertolak belakang. Dalam setiap pengajian kitab, mereka memahami bahwa membela bangsa juga bagian dari ibadah. Nilai ini membuat santri menjadi salah satu lapisan masyarakat paling siap menghadapi perubahan zaman.
---
Globalisasi dan Krisis Identitas
Kini, tantangan santri tidak lagi datang dari penjajah bersenjata, tetapi dari arus budaya global yang halus dan masif. Media sosial, film, musik, dan gaya hidup modern membawa nilai-nilai yang tidak selalu sejalan dengan akar budaya bangsa.
Kita hidup di era di mana remaja lebih hafal lirik lagu luar negeri daripada syair shalawat, dan lebih mengenal tokoh-tokoh Barat daripada ulama nusantara. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut "krisis identitas kultural." Di sinilah peran santri menjadi krusial --- bukan sekadar untuk melarang atau menolak modernitas, tetapi untuk menyeleksi dan mengharmonikan nilai-nilai global dengan budaya dan agama.
Santri bukanlah anti-modernitas. Justru sebaliknya, santri adalah sosok yang paling adaptif terhadap perubahan, karena mereka terbiasa hidup dalam sistem pembelajaran yang menanamkan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Santri hari ini tidak hanya bisa membaca kitab kuning, tapi juga menulis jurnal, membuat konten dakwah digital, hingga menjadi inovator sosial.
Dalam konteks inilah, santri menjadi "penafsir zaman." Mereka mampu mengambil esensi modernitas tanpa kehilangan ruh spiritualitas. Mereka menerima kemajuan teknologi, tapi tetap menolak nilai-nilai sekularisme ekstrem yang menafikan peran Tuhan. Itulah bentuk baru dari nasionalisme religius di era global: nasionalisme yang terbuka, cerdas, dan tetap berakar pada nilai Islam.
---
Nasionalisme Religius: Sinergi antara Iman dan Kebangsaan
Nasionalisme religius bukan konsep baru. Ia sudah lama menjadi ruh perjuangan para ulama. KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim sama-sama menanamkan gagasan bahwa cinta tanah air harus tumbuh dari nilai iman. Mereka menolak nasionalisme yang buta, tetapi juga tidak menginginkan religiusitas yang eksklusif.
Dalam Al-Qur'an, semangat kebangsaan dan cinta tanah air tampak dalam doa Nabi Ibrahim yang memohon kepada Allah:
>
"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan berilah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya." (QS. Al-Baqarah [2]: 126)
Doa ini menegaskan bahwa keamanan dan kesejahteraan suatu negeri adalah bagian dari cita-cita spiritual seorang mukmin. Dengan kata lain, membangun bangsa bukan sekadar tugas politik, melainkan panggilan iman.
Nasionalisme religius menuntut keseimbangan: menjadi warga negara yang taat hukum sekaligus hamba Allah yang taat syariat. Santri menjadi contoh ideal dari keseimbangan itu. Mereka tidak menolak kemajuan, tetapi selalu mengaitkan setiap tindakan dengan nilai moral dan tanggung jawab sosial.
---
Santri sebagai Penjaga Moral dan Pelestari Budaya
Salah satu peran penting santri di tengah globalisasi budaya adalah menjaga moral bangsa. Di tengah gempuran konten digital yang mengandung kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian, santri dapat menjadi filter sosial. Mereka bisa menyebarkan dakwah dengan cara yang santun, beretika, dan penuh kasih sayang.
Selain itu, santri juga berperan sebagai pelestari budaya lokal. Banyak tradisi keislaman di Nusantara yang lahir dari kreativitas para kiai dan santri --- seperti tahlilan, maulid, shalawatan, hingga hadrah. Tradisi ini bukan bentuk bid'ah, melainkan ekspresi cinta kepada Rasulullah yang dibungkus dengan kearifan lokal.
Pesantren telah lama menjadi laboratorium kebudayaan. Di sana, nilai-nilai lokal diolah dengan spirit keislaman universal. Santri menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas, antara Islam dan Indonesia.
Dengan cara itu, santri mengajarkan kepada masyarakat bahwa mencintai budaya lokal bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menjaga akar agar tidak tercerabut oleh badai globalisasi.
---
Peran Santri di Era Digital dan Tantangan Zaman
Santri masa kini menghadapi tantangan baru: dunia digital. Globalisasi kini tak hanya soal ekonomi dan budaya, tapi juga tentang informasi dan opini. Dalam satu detik, jutaan narasi tersebar di media sosial, termasuk narasi keagamaan yang sering kali ekstrem dan menyesatkan.
Di sinilah santri harus tampil sebagai penjaga moderasi. Mereka harus bisa menggunakan teknologi untuk dakwah digital yang menyejukkan. Banyak santri kini sudah aktif di platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok, menyebarkan pesan-pesan kebaikan.
Tentu saja, dakwah digital bukan hanya soal popularitas. Ia adalah bentuk tanggung jawab baru. Ketika ruang publik digital dipenuhi ujaran kebencian dan paham intoleran, santri harus hadir dengan wajah Islam yang rahmatan lil 'alamin --- penuh kasih, rasional, dan terbuka.
Santri digital adalah wajah baru perjuangan kebangsaan. Mereka berjuang bukan lagi dengan bambu runcing, tetapi dengan pena, kamera, dan jaringan internet. Mereka mengedukasi masyarakat dengan cara yang kreatif, tapi tetap berpijak pada nilai moral pesantren.
---
Refleksi: Menjadi Santri yang Global dan Nasionalis
Sebagai generasi yang tumbuh di tengah perubahan cepat, santri harus menyiapkan diri menjadi insan global tanpa kehilangan keindonesiaannya. Menjadi santri global bukan berarti meninggalkan kitab kuning, tetapi menafsirkan ulang ajarannya dalam konteks kekinian.
Santri yang nasionalis tidak hanya mengibarkan bendera merah putih pada 17 Agustus, tapi juga menunjukkan loyalitasnya kepada bangsa melalui kerja nyata --- mengajar di desa, memberdayakan masyarakat, dan menjaga harmoni antarumat beragama.
Dalam pandangan saya, nasionalisme religius santri adalah modal besar bangsa ini untuk menghadapi krisis nilai. Di saat banyak generasi muda kehilangan arah, santri menawarkan teladan integritas dan keikhlasan. Mereka membuktikan bahwa cinta tanah air tidak harus diteriakkan dengan slogan, tapi bisa diwujudkan melalui pengabdian dan ilmu yang bermanfaat.
---
PENUTUP
Menjadi santri hari ini berarti memikul dua tanggung jawab besar: menjaga agama dan membangun bangsa. Dua hal itu tidak bisa dipisahkan, karena keduanya lahir dari sumber nilai yang sama --- cinta kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.
Dalam arus globalisasi yang serba cepat dan materialistik, santri mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menundukkan hati, dan bertanya: ke mana arah bangsa ini jika nilai moral dan spiritual ditinggalkan?
Jawabannya jelas: bangsa ini akan kehilangan jiwanya.
Dan di sanalah santri berdiri --- sebagai penjaga jiwa bangsa, penerang di tengah kegelapan globalisasi, dan jembatan antara iman dan kemajuan.
Selama santri tetap berpegang pada nilai keislaman dan semangat kebangsaan, Indonesia akan tetap berdiri tegak --- sebagai negeri yang aman, damai, dan diberkahi Allah SWT.
---
"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan berilah rezeki kepada penduduknya dari buah-buahan." (QS. Al-Baqarah: 126)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI