Mohon tunggu...
Hukum Hindu (Mertamupu)
Hukum Hindu (Mertamupu) Mohon Tunggu...

Akun sebelumnya www.kompasiana.com/mertamupu. \r\nID Facebook:facebook.com/mertamupu .\r\nAkun sekarang www.kompasiana.com/mertamupu.co.id

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sivarātri Di India Dan Di Bali Sebuah Kajian Banding

17 Januari 2012   15:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



I Wayan Sudarma, S.Ag – Kota Bekasi


"Atyantādhika ning bratanya
taya kājar denikang rāt kabeh,
manggeh ling nikang ādisastra
Shivarātri punya tan popama"

Shivarātrikalpa. 12.1.

(Sangat utama Brata Sivarātri telah diajarkan kepada dunia dan sastra-sastra utama selalu menekankan keutamaan Shivarātri tiada bandingnya)


A. Sumber ajaran Sivarātri.

Sumber ajaran Shivarātri di Indonesia adalah sama yakni kitab-kitab Purāna. Pemujaan kepada Shiva sebagai dewata tertinggi memang mulai dan mengalami masa kejayaan pada jaman dituliskannya kitab-kitab Purāna. Sebagai dimaklumi pada kitab suci Veda pemujaan kepada dewa Shiva belum begitu menonjol atau menjadi satu dewa Istadevatā yang dominan. Pada kitab-kitab Purāna, kedudukan dewa-dewa yang dominan dalam Veda seperti : Agni, Indra, Vāyu dan Sūrya digantikan oleh Brahma, Visnu dan Shiva (Wilkin, 1975 : 92, Bhattacharji, l988 : 3).

Usaha untuk menemukan sumber asli dari kitab Shivarātrikalpa, satu-satu kakawin yang secara gamblang memberikan keterangan tentang Shivaratri di Indonensia, telah dilakukan oleh Teeuw dan kawan-kawan (l969) dan menyatakan bahwa kakawin ini sangat dekat dengan kitab Padmapurāna dibandingkan dengan Purāna yang lain (l969 : 186) seperti Skandapurāna, Shivapurana, Agnipurāna atau Garudapurāna.

Untuk menambah luasnya wawasan kita tentang sumber - sumber ajaran Shivarātri atau Shivarātrivrata yang di dalam Shiva Purāna disebut juga dengan nama Shivacaturdasi (Shastri, Vol.2, Part II, p.1063), ada baiknya kita bahas secara sepintas sumber-sumber tersebut, sebagai berikut :


1. Shivapurana

Pada topik Vidyasvarasaýhitā, Shiva menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Mahaesa dan menganugrahkan Brata Shivarātri yang sangat utama (Shastri, Vol.1, Part I, p.60), selanjutnya pada topik Rudrasamhita (XVIII, 1-50), dijelaskan bahwa Gunnidhi, putra Diksita Yajñadatta telah melakukan dosa, yakni tidak kuasa menahan laparnya, mereka mengunjungi sebuah pura Shiva, pada saat itu kebetulan upacara perayaan shivarātri sedang berlangsung. Gunanidhi sempat melihat dari luar perayaan yang berlangsung meriah itu dan tidak disadari air liurnya menetes menyaksikan berbagai jenis makanan yang dipersembahkan. Selesai upacara ternyata lampu mulai gelap, suasana pura sangat sepi karena umat yang habis melaksanakan persembahyangan, kelelahan dan langsung tertidur di halam dalam pura. Dengan langkah pelan-pelan sambil mengamati orang yang sedang tidur ia mencuri makanan yang baru dipersembahkan. Ternyata perbuatannya diketahui oleh beberapa orang umat yang tidak sengaja sempat diinjak oleh Gunanidhi, mengakibatkan orang berteriak dan lampu dinyalakan dengan terang dan Gunanidhi sempat melarikan diri. Ketika ia meninggal rohnya dijemput oleh Yamabala (tentara dewa Yama) dan bersamaan pula para Gana (tentara dewa Shiva) menjemput yang bersangkutan, terjadi tarik-menarik dan perkelahian yang berimbang dan pada saat yang bersamaan dewa Yama dan Shiva muncul di tempat itu. Pertempuran dihentikan dan dewa Shiva menjelaskan, sekalipun Gunanidhi seorang pencuri, karena pada saat itu dilakukan pada hari Shivaratri, berjasa pula membangunkan orang-orang dari tidurnya dan lampu yang tadinya tidak menyala dihidupkan kembali (Ibid, Vol.1, Part I, p.261).

Dalam Rudrasamhita pula (LVIII, dibunuhnya Dundubhi Nirhrada) dijelaskan bahwa seorang bhakta yang melaksakanakan kebaktian dengan kesujudan hati kepada Shiva, dewa dewi seluruh dewa-dewa(24), selanjutnya Shiva menyatakan : "Bila seseorang mampu melihat wujudk-Ku begini dengan Sraddha ( keimanan ) yang tulus akan dibebaskan dari penderitaan dan kesalahan (Ibid, Vol.2, Part II, p.1064).

Dalam Koti Rudrasamhita ( XII.26-28 ) dijelaskan seseorang yang bernama Sudarúana melakukan hubungan sex dengan istrinya dan setelahnya tanpa mandi terlebih dahulu kemudian melakukan persembahyangan (memuja Shiva) pada waktu Shivarātri, dewa Shiva sangat murka kepadanya : "Kurang ajar, engkau melakukan hubungan sex saat Shivarātri, tanpa mandi terlebih dahulu engkau memuja Aku. Kamu penyembah bodoh". Karena dosa tersebut, ayah dari Sudarsanapun mendapat celaka. Walaupun demikian dosanya, bila sepenuh hati memuja dewi Parvatì. Karena penyesalan dan ketekunannya memuja Parvatì, akhirnya sakti dewa Shiva menganugrahkan Shivagāyatrì, yang terdiri dari 16 suku kata yakni "Vamadevāya dhìmahi dhiyo yo nah pracodayat" (Ibid, p.1304).

Dijelaskan pula dalam Koti Rudrasamhita tentang keutamaan dari brata Shivarātri ini melebihi brata-brata yang lain (XXXVIII, 1-88, Ibid.,p.1422) dan dalam bagian selanjutnya (XL) dijelaskan tentang ceritra Gurudruha, yang didalam penelitiannya A. Teeuw dan kawan-kawan (1969) disebut Rurudruha (p.1431). Adapun ceritra singkatnya sebagai berikut : Pada hari Shivarātri, Gurudruha berangkat ke tengah hutan untuk melaksanakan tugas rutinnya melakukan perbuaran terhadap berbegai binatang untuk menyambung hidup keluarganya.Sayang dari pagi sampai sore, tidak seekor binatangpun yang diperolehnya.

Untuk mengindari bahaya dan mencari tempat yang aman ia pergi menuju mata air dengan maksud sambil mengintip binatang-binatang yang ke luar padamalam hari untuk meminum air. Tidak disadari ia menaiki sebatang pohon Bilva yang kebetulan di bawahnya terdapat sebuah Lingga. Ketika menjelang malam, seekor induk kijang menuju mata air dan pada saat itu Gurudruha bersiap membentangkan anak panahnya dan tanpa disadari pula, beberapa lembar daun Bilva jatuh mengenai atas Lingga. Melihat daun jatuh, induk kijangpun menoleh keatas, terkejut seorang pemburu telah siapmeleaskan anak panahnya. Induk kijang itupun segera berbicara.

"Maaf jangan dulu saya dibunuh, saya masih mempunyai bayi, kasian kalau saya tidak memberi tahu suami dan anak-anak saya yang lain. Saya senang dapat mengabdikan tubuh saya ini untuk kepentingan kehidupan anda dan keluarga. Sebentar saya datang kembali". Pemburu itupun pada mulanya tidak percaya dan sangat terkejut terhadap kijang yang mampu berbicara seperti manusia. Pemburu sebelum mengijinkan kijang itu meminum dan meninggalkan tempat minta kepada kijang itu untuk bersumpah guna menepati janjinya. Kijang itu ternyata bersumpah dan menyatakan bahwa dirinya akan selalu menepati janji yang telah diucapkan. Pemburu itu agak lama menunggu, kira-kira menjelang tengah malam datanglah induk kijang yang jantan diikuti oleh beberapa ekor anak-anaknya.

Saat itu induknya yang betina menyerahkan diri untuk dibunuh, jantan dan anak-anaknyapun ingin ikut menyerahkan dirinya untuk dibunuh supaya dapat mengabdikan dirinya kepada mereka yang sangat kelaparan. Terjadi dialog, satu persatu induk dan anak-anak kijang itu menyerahkan dirinya untuk dibunuh, tidak disadari oleh Gurudruha, daun-daun Bilva jatuh di atas Lingga. Mendengar ucapan kijang-kijang yang sangat tulus itu, hati Gurudruha menjadi luluh dan saat yang bersamaan dewa Shiva muncul dihadapan Gurudruha yang langsung saja turun untuk bersujud. Saat itu juga kereta kadewataan turun dan ternyata kawanan kijang itu berubah menjadi dewa-dewa dan diterbangkan oleh kendaraan kadewataan itu. Setelah lenyap dari pandangannya, dewa Shiva kemudian bersabda : "Hari Gurudruha, sejak saat ini aku beri nama Guha dan pergilah kamu ke Úåògaverapura dan nikmatilah kabahagiaan yang sejati di sana. Pada saatnya Srì Rāma akan mampir di rumahmu, jadilah abdinya dan engkau pada saatnya nanti akan memperoleh kalepasan (Ibid,Vol. 3, Part III, p.1438).


2. Garuda Purana

Di dalam ācārakhandhaa dari Pūrvakhandhaa, Adhyāya 124 (1-23) kitab Garuda Purana dijelaskan tentang Brata (Vrata) Shivarātri sebagai berikut :

"Pada hari ke 14 paro petang (bula gelap) di antara bulan Magha dan Phalguna adalah hari yang sangat tepat untuk melaksanakan Brata Shivarātri. Seorang Bhakta (devotee) hendaknya melek semalam suntuk dan memuja Sang Hyang Rudra. Bhakta ini akan memperoleh kesejahtraan di dunia dan keselamatan (2)"

"Hyang Shiva hendaknya dipuja diikuti pemujaan kepada dewa Kamesvara, seperti halnya Kesava (Krsna) yang dipuja pada hari Dvadasi. Setelah melakukan pemujaan kepada-Nya, seorang Bhakta akan dapat menyebrangi neraka (3)" (Shastri, Garuda Purana,1990, Vol.1, Part I, p.373). Selanjutnya pada bagian ini juga dijumpai penggambaran seseorang yang sangat berdosa, bernama Sundara Shenaka (sering disebut Sundarasena) raja Nisada berburu ke tengah hutan, sampai kelelahan kemudian ia beristirahat di tebing sebuah danau di lereng gunung, sayang tidak seekor binatangpun yang diperoleh, kondisinya yang kelelahan dan matanya mulai mengantuk. Untuk menjaga keseimbangan dan supaya jangan tertidur, tidak sengaja ia memetik-metik daun dan melemparkannya ke bawah yang tanpa disadari pula di bawah pohon itu terdapat sebuah Lingga. Tidak berapa lama tiba-tiba anak panahnya jatuh dari busurnya dan begegaslah Sundara Shenaka turun dari pohon untuk mengambilnya dan tidak disadari pula tanangannya dapat menyentuh Lingga yang penuh dengan debu. Untuk membersihkan panahnya, iapun mengambil air dan tetesan ujung panahnya juga menetes di atas Lingga. Di sana ia secara tidak sengaja sebenarnya telah melakukan kegiatan persembahyangan memuja Lingga, demikian ia tidak tidur semalam suntuk. Ketika fajar menyingsing ia kembali pulang dan tidak berapa lama tinggal di rumahnya, iapun meninggal. Karena perbuatannya yang tidak sengaja bersama dengan anjingnya yang setia, akhirnya oleh dewa Shiva ia dijadikan salah seorang pengiring dewa Shiva (Ibid, p.376, juga Teeuw, p.168).


3. Skanda Purana

Di dalam Skanda Purana, bagian Kedārakhandha, pada bab Mahesvarakhandha, muncul perhitungan lain dari Shivāratri dalam bentuk percakapan antara para Rsi dengan mahārsi Lomasa. Dalam percakapan itu, mahārri Lomasa menjelaskan keutamaan Shivarātri dengan sebuah ceritra seorang pemburu Kirāta (Puskara) yang bernama Candha (73,96-106). Ia dan istrinya adalah orang jahat, pada suatu hari pada paro petang ke-14 bulan Magha mereka berburu ke hutan dan saat menjelang malam, ia melompat ke sebuah pohon Bilva. Lapar dan haus sangat mengganggunya, di atas pohon ia berusaha tidak memejamkan mata dengan jalan melemparkan daun-daun Bilva yang dipetiknya dan kebetulan di bawah terdapat sebuah Lingga. Ia sempat berkumur dan tidak sengaja air kumurannya itu dikeluarkan (disemprotkan melalui mulutnya) dan juga mengenai Lingga itu. dengan demikian secara tidak sengaja ia sebenarnya telah melakukan pemujaan kepada dewa Shiva melalui Lingga itu. Pagi keesokan harinya, ia turun dari pohon dan pergi memancing di tepi sungai (33, l0-15).

Karena suaminya tidak kembali pulang pada malam hari (ketika suaminya) bermalam di hutan, istrinya sangat gelisah, mungkin suaminya telah diterkam harimau atau diseruduk oleh gajah atau dipagut ular berbisa. Istrinya sangat khawatir semalam suntuk juga tidak bisa tidur. Karena sangat khawatir, iapun tidak makan dan tidak minnum sepanjang siang dan malam menunggu penuh kecemasan (33,16-24).

Saking tidak sabarnya, sang istripun pergi ke tengah hutan untuk mencari suaminya dan ditemukan suaminya itu sedang memancing di seberang sungai. Ditinggalkannya bekal yang ia bawa, istrinya langsung saja menyebrangi sungai untuk menemui suaminya, demikian pula suaminya melakukan hal yang sama karena takut istrinya hanyut. Keduanya selamat menuju ke tepi sungai dan melakukan pemujaan bersama (sebagai rasa syukur). Setelah dilihat bekal makanan yang ditinggalkan, ternyata bekalnya itu telah dimakan habis oleh anjing buruannya. istrinya sangat marah, namun Candha tenang sekali menghadapi peristiwa itu, dan menasehati istrinya untuk tenang dan bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa serta memberi tahukan tentang Kebenaran (33,25-27).

Saat suami istri itu terpekur, memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa, datanglah utusan dewa Shiva dari sorga. Vìrabhadra, komandan pasukan dewa Shiva tidak mengerti mengapa ia diperintahkan untuk menjemput suami istri pemburu ini. Dewa Shiva menjelaskan bahwa pada saat itu adalah hari yang sangat mulia, yaitu Shivaratri dan beliau sangat senang terhadap pemujaan kepada Lingga itu, walaupun tidak sengaja dan tidak terpikirkan oleh kedua orang itu. Kemudian Candha dan istrinya diperintahkan untuk naik dikendaraan dewata yang telah disiapkan diikuti oleh para Apsara, Gandharva dan Vidyādhara dan iringan gamelan sorga (33.38-64)

Mahārsi Lomasa menjelaskan pula tentang asal terjadinya hari Shivarātri pada awal penciptaan dahulu dengan perputaran Roda Waktu, yang berakhir dengan Tithi (hari-hari bulan) dan Tuhan Yang Mahaesa (Shiva) menganugrahkan brata utama itu. Lomaúa juga menjelaskan tentang raja-raja pemabuk dan jahat seperti Vicitravìrya, Māndhatå, Dhundhunmāri, Hariscandradaya yang semuanya juga melakukan brata Shivarātri, mereka memperoleh keselamatan (33,65-101, Teeuw, l969 : 168).


4. Agni Purana

Di dalam Agni Purana, Adhyāya 193,dinyatakan tentang pelaksanaan Shivarātri Vrata yang merupakan wejangan suci dari Sang Hyang Agni, sebagai berikut :

"Dengarlah ! Saya akan menjelaskan brata dari Hyang Shiva yang menganugrahkan kebahagiaan dan kebebasan. Hari ke-14 pada paro petang di bulan Magha (Januari-Februari) atau Phalguna (Februari-Maret), hari yang sangat diberkahi untuk kebahagiaan. Seseorang yang ingin mengikuti brata ini hendaknya melakukan puasa dan melek semalam suntuk dengan ketetapan hati menyatakan :
"Saya akan melakukan brata Shivarātri pada hari ini", dan memuja Sang Hyang Shiva pada akhir brata. "Saya memuja Sang Hyang Shiva (Sambhu), yang akan menganugrahkan kebahagiaan dan kebebasan dan dengan perahu berkah-Nya menyelamatkan kami dari neraka, hamba senantiasa memuja-Mu, Om sang Hyang Shiva, Tuhan Yang Mahaesa, Engkau Yang Mahadamai menganugrahkan keberuntungan, kesehatan, pengetahuan, kesejahtraan material dan jalan menuju sorga. Ya Tuhan Yang Mahaesa, anugrahkanlah kepada kami kegembiraan dan kebahagiaan yang sejati dan kemashuran. Anugrahkan pula sorga dan Moksa". Dengan melakukan brata yang utama ini seorang penjahat bernama Sunadaraena memperoleh kebahagiaan yang tiada taranya (Gangadharan, Vol.28,Part II, 1985 : 517).


5. Padma Purana

Di dalam Uttarakandha, Padma Purana diceritrakan mahārri Vasistha sedang menjelaskan tentang keutamaan Brata Shivarātri kepada mahārāja Dilìpa, dengan menceritrakan tentang seorang yang hina (Candala) bernama Nisāda, yang ceritranya sangat dekat dengan kisah Lubhdaka dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno Shivarātrikalpa, karya Mpu Tanakung. Mengingat ceritranya sangat dekat, penulis tidak menyampaikan hal tersebut lebih jauh (Teeuw, 169).

Demikian sepintas sumber-sumber kitab-kitab Purana tentang Shivaratri yang dapat kami jumpai, namun demikian sumber-sumber lainnya yang bersifat Tantrik, Shivarātri adalah Kālarātri, di samping juga Mahārātri dan Moharātri (Shastri, Shiva Purana, Vol.1, Part I, p.261). Sumber lainnya adalah Rājataramgini (Monier, 1993 : 1075), Kannas sa Rāmāyana (Vettam Mani,1989 : 731), Mahabharata / Santiparva (Sivananda, 1991 : 142) dan lain-lain.


B. Perbedaan bulan hari Shivaratri

Memperhatikan sumber-sumber ajaran Brata Shivarātri tersebut di atas dan juga pelaksanaannya di India dan di Indonesia terdapat perbedaan bulan jatuhnya hari Shivarātri itu, yakni pada hari yang sama, yaitu Caturdaúi Kåûóapakûa (paro petang ke-l4) bulan Magha (ke-VII) dan Phalguna (ke-VIII). Bila kita telusuri perbedaan itu, justru kita dapatkan secara tegas dinyatakan dalam sumber-sumber berikut :

l. Garuda Purana, kitab ini secara tegas menyatakan Shivarātri dilaksanakan pada paro petang ke-14 (Caturdasi Krsnapaksa), Maghamāsa atau Phalgunamāsa, yakni bula ke VII (kapitu) dan ke-VIII (kaulu).

2. Agni Purana, kitab ini juga secara tegas menyatakan adanya perbedaan bulan, yakni Magha (ke-VII) atau Phalguna (ke-VIII).

3. Padma Purana, kitab ini tegas pula menyatakan adanya dua bulan yang sama untuk melaksanakan Shivarātri seperti tersebut di atas.

4. Shivarātrikalpa, satu-satunya sumber di Indonesia, berbahasa Jawa Kuno tegas pula menyebutkan hanya pada bulan Magha (Caturdasa hireng, Maghamāsa). paro petang
ke-14.

Selanjutnya berdasakan pengamatan kami pelaksanaan hari suci Shivaratri di India dilaksanakan pada bulan Phalguna, yang tahun jatuh pada tanggal 14 Februari l995 sedang di Indonesia (Bali) adalah sesuai sumber kakawin Shivarātri tersebut di atas dan untuk tahun ini jatuh pada tanggal 30 Januari l995. Mengapa terdapat perbedaan hari Shivarātri itu ? Bila kita kembali pada sumber, memang kitab-kitab Purana tersebut tegas menyatakan hal itu, namun demikian penulis mencoba mengkajinya melalui pendekatan geografis, karena untuk melakukan suatu kegiatan kita tidak dapat melepaskan diri dengan keadaan atau lingkungan alam kita. Mengingat kedudukan bumi India (Bharata Varsa), yakni membujur dari arah Utara , Himalaya ke Selatan sampai Kanya Kumari (Tanjung Comorin) demikian panjang dan luasnya, maka kedudukan bulan pada saat itu antara di daerah Utara dengan Selatanpun berbeda. Kiranya atas dasar geografis ini di benarkan pelaksanaan Shivarātri berbeda satu bulan, walaupun kini umat Hindu di India hampir seluruhnya melaksanakannya pada bulan Phalguna.

Berbeda dengan umat Hindu di India, umat Hindu di Indonesia ( Bali ) melaksanakan Shivarātri sesuai sumber kakawin berbahasa Jawa Kuno di atas, dan pada bulan Magha (ke-VII) ini, situasinya sangat cocok dengan penggambaran seseorang pemburu yang kelaparan dan kehujanan di tengah hutan. Bagi umat Hindu di Indonesia yang kebetulan letak geografisnya di daerah katulistiwa yang membentang dari Timur ke Barat, maka bulan Magha ini adalah tepat, dan bulan mati (Tilem/Amavasya) paling gelap di antara dua belas Tilem, kiranya adalah pada Tilem Ke-VII ini.

C. Keutamaan Brata Sivarātri

Walaupun sudah setiap tahun, pada hari suci Shivarātri, umat Hindu selalu merayakan hari suci ini dengan berbagai kegiatan agama seperti puasa, melakukan sambang samadhi (tidak tidur) semalam suntuk dan menyucikan diri, diskusi-diskusi atau Dharmatula tentang Shivarātri selalu dilaksanakan. Namun demikian, dalam tulisan ini dicoba pula untuk mengetengahkan keutamaan Shivarātri sebagai berikut :

Kitab Shiva Purāna menyatakan bahwa seorang bernama Bhilla yang pekerjaan- nya sebagai pemburu (suka membunuh binatang) mendapatkan anugrah dari Sang Hyang Shiva, tidak hanya berupa sorga, tetapi juga Mokûa dalam tingkatan Sayujya, yakni bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa. Selanjutnya kitab Shiva Purana menyatakan:

"Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Shivarātri. Demikian keutamaan Brata Shivarātri, hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Shivarātri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin (Shastri, Shiva Purana, Koti Rudrasamhita, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Shivarātrikalpa menyatakan keutamaan Brata Shivarātri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Shiva sebagai berikut :

"Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Shivarātri ini, semua Pataka itu lenyap".

"Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Shivarātri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Shivarātri ) yang Aku sabdakan ini"
( Shivaratrikalpa, 37, 7-8).


D. Pelaksanaan Brata Shivarātri di India dan di Indonesia

Pelaksanaan Brata Shivarātri di India pada paro petang ke-14 bulan Phlaguna (Februari-Maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan Magha (Januari-Februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang ke pura-oura Sang Hyang Shiva dan pura-pura ini para Pūjari (semacam pandita atau pemangku di Bali) melakukan upacara Abhiseka Lingga, mempersembahkan Naivedya (sesajen yang umumnya terbuat dari tepung gandum , susu, buah-buah dan sari buah), dilanjutkan dengan mengucapkan/membaca doa-mantra seperti Shiva Samhitā, Shivamahimastotra, Shivasahasranāma (seribu nama Sang Hyang Shiva) dan umat pada umumnya mengucapkan Japa Pañcāksara Shiva (Shivamahāmantra) : OM NAMAH SIVĀYA sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam. Umat Hindu di samping melakukan Upavasa (puasa) juga melakukan Bhajan (mengidungkan lagu-lagu suci memuji keagungan Tuhan Yang Mahaesa sepanjang siang dan malam hari. Bhajan yang tiada hentinya dilakukan oleh banyak orang secara serempak dan atau bergiliran disebut Akhandabhajan dan keesokan harinya umat Hindu berduyun-duyun mandi di sungai suci seperti Gangga, Yamuna atau Patìrthan-Patìrthan terdekat.

Sebagai informasi yang akurat, kami kutipkan di sini pelaksanaan Shivarātri yang dilaksanakan di Sivananda Asram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :

1.Seluruh siswa dan Sanyasin melakukan puasa sepanjang siang dan malam hari tanpa minum setetes airpun.

2.Sebuah Havan (Agnihotra) yang besar dilaksanakan untuk memohon kedamaian dan kesejahtraan seluruh umat manusia.

3.Sepanjang hari dan malam, semua siswa dan Sanyasin melakukan Japa mengucapkan Shivamahāmantra Om Namah Sivāya.

4.Sepanjang malam semua berkumpul di pura milik Ashram dan melakukan Japa tersebut diiringi dengan Bhajan atau meditasi.

5.Setiap tiga perempat malam dilaksanakan pemujaan (Abhiseka) Lingga secara khusuk. (Semalam 4 kali pemujaan).

6.Diksa kepada Sanyasin baru, juga diberikan oleh Sanyasin Guru pada hari yang suciini.

Terdapat sedikit variasi dalam perayaan Shivarātri di India adalah hal yang wajar karena kondisi umat Hindu yang berbeda-beda.

Di Indonesia, dalam rangka standardisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah menetapkan keputusan Seminar tentang Shivaratri yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

l. Brata Shivarātri, terdiri dari :
a. Uttama, dengan melaksanakan :
1). Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2). Upavasa (tidak makan dan minum).
3). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).
b. Madhyama (menengah) dengan melaksanakan :
1). Upavasa (tidak makan dan minum).
2). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).
c. Kanistama (sederhana) dengan melaksanakan :
Hanya Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

2. Tatacara melaksanakan Upacara Shivaratri :
a. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan Dharmaning Kawikon.
b. Untuk Valaka (umat pada umumnya) didahului dengan asuci laksana (menyucikan diri). Upacara dimulai dengan urutan sebagai berikut :

1.Maprayascitta, sebagai penyucian pikiran.

2.Mapajati , mempersembahkan sesajen ke Sanggar Surya untuk memohon persaksian kehadapan sang Hyang Sūrya.

3.Sembahyang kehadapan leluhur yang telah mencapai Siddhadevatā, untuk memohon bantuan dan tuntunanya.

4.Mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Shiva. Banten ditempatkan pada palinggih, padmasana atau dapat pula pada piyasan di Sanggah Pamarajan. Bila semua palinggih tidak tersedia (misalnya di halam atau ruangan terbuka) dapat membuat semacam altar, yang dipandang wajar untuk melakukan sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Shiva dan dewata Samoddhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas Tirtha sebagai biasa.

5.Sementara melakukan sembahyang Brata, baik Mona (Mauna), Upavasa dan Jagra tetap dilaksanakan.

Demikian antara lain brata dan pelaksanaan Shivaratri baik yang dilakukan di India maupun di Indonesia, semoga hikmah pelaksanaan brata yang utama ini dapat lebih meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan Yang Mahaesa.


E. Kesimpulan

Berdasarkkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat benang merah atau hubungan yang pasti antara Shivarātri di India dan di Bali (Indonesia), yakni kakawin Shivarātri di Indonesia bersumber pada kitab-kitab Purana dan Purana yang paling dekat dengan kakawib ini adalah Padma Purana.

2. Terdapat perbedaan bulan pereayaan Shivarātri, yakni Shivarātri di India pelaksanaannya jatuh pada bulan Phalguna atau Ke-VIII (Kaulu/Februari-Maret), sedang di Indonesia pada bulan Magha atau Ke-VII (Kapitu/Januari-Februari).

3. Perbedaan itu memang disebabkan oleh sumbernya sendiri, yakni kitab-kitab Purana Garuda Purana, Agni Purana dan Padma Purana.

4. Adanya perbedaan bulan untuk Shivarātri dimungkinkan pula oleh letak geografis India yang membentang dari Utara ke Selatan, sedang Indonesia di tengah - tengahgaris Katulistiwa.

5. Inti pelaksanaan upacara Shivarātri tidak jauh berbeda antara di India dengan di Bali,adanya perbedaan disebabkan pula oleh budaya pendukung dan kondisi alam atau geografis yang berbeda pula.

DAFTAR PUSTAKA

Apte, Vaman Shivram : The Sanskrit English Dictionary, Motilal Banar-
l965 sidass, New Delhi, India.

Bhattarji, Sukumari : The Indian Theogony, Motilal Banarsidass, New
1988 Delhi, India.

Dipavali Debroy,Bibek Debroy: The Bhavisya Purana, Books For All, New Delhi,
- India.

Ganggadharan, N. : The Agni Purana, Vol.28, Part II, Translation,
1985 Motilal Banarsidass, New Delhi, India.

Monier, Sir M. Williams : A Sanskrit-English Dictionary, Motilal Banarsi-
1993 dass, New Delhi, India.

Pendit, Njoman S. : Bhagavadgita, Ditjen Bimas Hindu dan Buddha,
1970 Departemen Agama R.I.,Jakarta.

Pudja, G. : Sarasamuccaya, Mayasari, Jakarta.
1979
8. Shastri, J. L. : The Shiva Purana,Vol. 1, Part I, Motilal Banarsi-
1990 dass, New Delhi, India.

1990 : The Siva Purana, Vol.2,Part II,Motilal Banarsi-
dass, New Delhi, India.

Sivananda, Sri Swami : Fasts and Festivals of India,Divine Life Society,
1991 Sivanandanagar, Uttar-Pradesh, India.

Tagare, G.V. : The Skanda Purana, Motilal Banarsidass, New
1992 Delhi, India.

Teeuw, A. et. al. : Siwarātrikalpa of Mpu Tanakung, The Hague -
1969 Martinus Nijhoft, Liden.

Vettam Mani : Purānic Encyclopaedia, Motilal Banarsidass,
1989 New Delhi, India.

Wilkin, W.J. : Hindu Mythology, Rupa & Co, New Delhi,
1975, India

------- : Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
1989 Aspek-Aspek Agama Hindu (I-XV), Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali, Denpasar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun