Mohon tunggu...
Money

Implementasi Perda Kota Malang tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan

18 Desember 2017   00:04 Diperbarui: 25 Desember 2017   06:01 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adanya berbagai praktik pengaturan jalan yang beroperasi diberbagai sudut atau persimpangan jalan Kota Malang merupakan suatu hal yang menjadi sorotan penulis, kemudian penulis menggunakan teori efektivitas hukum untuk menganalisis sejauh mana pengimplementasian yang di pertimbangkan dari berbagai komponen yaitu : Faktor hukumnya sendiri (undang-undang), Faktor penegak hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat dan Faktor kebudayaan.

Penelitian tersebut tergolong dalam jenis penelitian normative dan menggunakan metode pendekatan kualitatif dimana mengedepankan kedalaman informasi dalam pengolahan datanya kemudian diperoleh hasil bahwa pengimplementasian undang-undang/ peraturan daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012, tidak efektif karena realitasnya para pengatur jalan "pak ogah" masih marak beroperasi di daerah persimpangan jalan yang berada di Kota Malang dan hal ini tidak sesuai dengan Peraturan tersebut. Sedangkan mengenai status pak ogah tidak semua dari mereka yang sesuai dengan peraturan yang ada, sebagian besar banyak yang tidak melakukan perizinan dan sebagian sudah ada yang melakukan perizinan.

LATAR BELAKANG

Kota malang dengan luas sekitar 252,1 (km2), dengan jumlah warga sekitar 895.387 orang adalah kota yang memiliki berbagai macam profesi dan aktivitas warga didalamnya, sehingga banyak sekali para imigran yang berdatangan ke kota ini, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) memperkirakan, sekitar 3.000 orang yang tinggal di Kota Malang namun bukan penduduk.[1] Mereka antara lain, para mahasiswa dan pekerja dari luar kota dan setiap tahun akan ada peningkatan yang signifikan dikarenakan di kota ini bukan hanya terkenal dengan para mahasiswanya, akan tetapi juga para pekerjanya, oleh karena itu jika di total, jumlah penghuni kota Malang ini lebih dari 1 juta orang bahkan bisa lebih karena dari tahun ketahun bertambah.

 

Hal tersebut membuat lalu lintas di Kota Malang ini kurang terkendali dikarenakan setiap hari ada aktivitas yang harus dijalani oleh semua elemen penduduk Kota Malang, para mahasiswa butuh ke kampus, para pekerja kantoran juga ke kantor dan pekerja yang lain juga perlu pergi ketempat tujuannya, dan dalam hal ini semua orang butuh jalan raya dalam menempuh tempat tujuannya.


 

Didalam jalan raya sudah ada aturan-aturan yang harus diketahui dan ditaati oleh semua pengguna jalan sehingga tidak ada kesalahan yang fatal seperti kecelakaan lalu lintas dan peristiwa lain yang tidak dikehendaki. Bukan hanya itu, salah satu hal yang paling menonjol dan perlu dikaji disini adalah sistem pengaturan jalan atau pengaturan lalu lintas.

 

Mengenai pengaturan jalan atau pengaturan lalu lintas sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Malang tentang ketertiban umun dan lingkungan dalam pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 yang berbunyi: "Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang: a. Melakukan pengaturan lalu lintas dengan maksud mendapatkan imbalan jasa, atau., b. melakukan pungutan uang terhadap kendaraan umum maupun angkutan barang."

 

Didalam kenyataannya masih banyak praktik-praktik illegal seperti pengatur jalan yang beroperasi diberbagai sudut atau persimpangan jalan. Dengan semangatnya mereka berdiri tegak dari pagi sampai sore terutama disaat waktu Prime Time. Akan tetapi jikalau dilihat dari peraturan tersebut mereka dilarang oleh undang-undang tersebut. Akan tetapi, mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek penegakan hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang kesadaran dan kepatuhan hukun ditahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan berpolitik.[2]

 

Oleh karena itu penulis ingin mengaitkan hal tersebut dengan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, dalam bukunya Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hukum ini.[3] Jika kita melihat dari teori efektivitas hukumnya mengatakan hukum akan efektif dan tidaknya dilihat dari hal hal berikut:

 

Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[4]

 

Kelima Faktor tersebut dapat menjadi tolak ukur dalam mengukur efektif dan tidaknya suatu hukum.

 

Terjadi suatu fakta mengenai maraknya pengatur jalan "pak ogah" yang beroperasi di daerah persimpangan jalan yang berada di kota malang ini, yang belum memiliki izin untuk mengatur jalan tersebut. Sehingga hal ini sangat bertentangan dengan peraturan daerah kota malang. Dari fakta tersebut timbulah isu hukum berupa Inconsistent of Norm atau ketidakefektifan suatu hukum yang pada kali ini adalah ketidak efektifan pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 tentang ketertiban umum dan lingkungan dimana didalamnya membahas tentang adanya larangan bagi seseorang atau kelompok untuk melakukan pengaturan jalan dengan mendapat imbalan jasa dan juga melakukan pungutan uang bagi pengendara umum dan juga angkutan jalan.

 

Akan tetapi jika dilihat dari kemanfaatan peran pengatur jalan untuk menertibkan lalu lintas memang mereka sangat berperan dalam hal tersebut, terkhusus pada lokasi persimpangan jalan yang tidak ada lampu lalu lintasnya mereka sangatlah membantu dalam proses persimpangan lalu lintas.Akan tetapi apakah mereka semua memahami akan prosedu/cara dalam pengaturan lalu lintas jalan. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat dan dirumuskan menggunakan beberapa rumusan masalah dibawah ini:

 

 


KAJIAN KEPUSTAKAAN

 

Ketika kita berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama harus  dapat   mengukur   sejauh   mana   aturan   hukum   itu   ditaati   atau   tidak ditaati. jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.[5]

 

Achmad Ali juga berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas hukum, maka kali pertama yang harus diukur adalah "sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati". Selanjutnya ia juga mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.[6]

 

Menurut Ahmad Ali ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan ini pun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, dimungkinkan karena ancaman paksaannya yang kurang berat, mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat[7]

 

Sedangkan pendapat dari Romli Atmasasmita adalah bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.[8]

 

Adapun Soerjono Soekanto berpendapat bahwa efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.[9] Sedangkan derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh taraf   kepatuhan   masyarakat   terhadap   hukum, termasuk   para   penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, "taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyrakat dalam pergaulan hidup."[10] ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah menurut Soerjono Soekanto adalah:

 

Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.[11]

 

Namun dalam hal ini penulis akan fokus pada lima komponen yang menjadi pertimbangan efektifitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yaitu:

 

Faktor penegak hukum.Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.Faktor masyarakat. Faktor kebudayaan.[12]

 

METODE PENELITIAN

 

Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian empiris berupa pengkajian terhadap perundang-undangan disandingkan dengan kenyataan dilapangan, dan yang dibahas dalam penelitian ini adalah perda Kota Malang. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, dimana menganalisis kedalaman data dari seorang responden yang memberikan paparan data akan peran seorang pengatur jalan yang kemudian oleh penulis data tersebut diolah untuk dibuat suatu analisis, sehingga metode pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara. Dalam proses wawancara maka penulis memilih beberapa tempat yang dijadikan sebagai praktik pengaturan jalan illegal yang berada di sekitar Kota Malang.


 

PAPARAN DAN ANALISIS DATA

 

            Praktik pengaturan lalu lintas/pengaturan jalan illegal atau yang biasa disebut "pak ogah" atau "polisi gopek" sudah sangat marak sekali khususnya di Kota Malang, hal tersebut ada yang memandang positif dikarenakan keberadaannya sangat membantu bagi pengguna jalan, khususnya dalam kondisi yang sangat ramai dan waktu -- waktu dimana semua mempunyai kebutuhan untuk menuju ke suatu tempat tujuannya, apalagi dilokasi-lokasi jalan yang kecil (jalan tikus) yang biasanya sebagai jalur alternatif untuk menuju ke jalan raya, maka peran pak ogah sangatlah berguna.

            Akan tetapi, dalam kenyataannya sebagian besar dari mereka tetap saja melakukan pengaturan lalu lintas dengan semaunya sendiri sebagai alat untuk mencari mata pencaharian, padahal dalam pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 telah dijelaskan yang berbunyi bahwa: "Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang: a. Melakukan pengaturan lalu lintas dengan maksud mendapatkan imbalan jasa, atau., b. melakukan pungutan uang terhadap kendaraan umum maupun angkutan barang."

Dalam paparan peraturan daerah tersebut secara jelas dan tegas bahwa adanya larangan keras terhadap seseorang atau kelompok yang tidak memiliki kewenangan melakukan pengaturan lalu lintas apalagi melakukan pungutan uang bagi pengendara dengan alasan sebagai suatu imbalan atau jasa.

Maka sangatlah relevan jika dihubungkan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang melihat hukum akan efektif jika dipandang dari berbagai hal diantaranya:

Dalam hukumnya sendiri kegiatan pengaturan jalan diatur dalam pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012, dalam ayat tersebut dipaparkan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewengan maka dilarang untuk melakukan pengaturan lalu lintas, apalagi dengan maksud untuk mendapatkan imbalan jasa dalam ayat "b" juga ditegaskan adanya pungutan uang terhadap kendaraan umum atau barang.

 

Dalam proses wawancara penulis kepada responden yaitu pak Nawi seseorang yang juga menjadi pengatur lalu lintas didaerah depan pasar dinoyo beliau mengatakan "Saya gak tau mas kalau mengenai undang-undang,..."[13] Maka dalam hal ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor hukumnya dalam hal ini adalah undang -- undangnya sudah sangat baik dan tegas berbicara dan mengatur mengenai praktik pengaturan lalu lintas akan tetapi memang para pelanggar tidak mengetahui akan peraturan perundang-undangan yang ada.

 

 

Pihak-pihak penegak hukum dalam hal ini adalah pihak kepolisian tidak melakukan suatu penertiban terhadap para "pak ogah" yang beroperasi, seperti yang dipaparkan oleh pak Nawi beliau berkata " ...selama ini tidak ada larangan oleh pihak kepolisian, jadi ya lanjut aja mas...".[14]

 

Namun ada sebagian para pengatur jalan yang juga beroperasi salah satunya adalah pak Ngadi beliau mengatakan" saya ini sudah izin ke kepolisian mas, setiap tanggal 10 ada pembinanan di Kantor Kapolsek, dan disana juga dijelaskan bahwa dilarang untuk minta uang ke pengendara, saya juga punya KTA sebagai tanda buktinya."[15]

 

Jadi dalam hal ini aparat penegak hukum kurang bersikap tegas dalam menjalankan tugas, realitasnya mereka tidak melakukan penertiban terhadap para "pak ogah" yang beroperasi secara ilegal dilokasi-lokasi persimpangan jalan.

 

 

Dalam hal sarana dan fasilitas penegakan hukum disini adalah ada keterkaitan antara pada penegakan hukumnya dengan fasilitas yang digunakan untuk menegakkan hukum, kenyataan di Kota Malang ini sudah ada fasilitas seperti mobil polisi patroli yang biasa digunakan untuk mengontrol keadaan masyarakat juga mengamankan dan menertibkan jika ada yang perlu untuk dilakukan tindakan.

 

Status pengatur jalan dimata masyarakat adalah suatu hal yang dapat membantu mereka dalam menempuh perjalanan disaat ada kemacetan, masyarakat merasa senang dan merasa dibantu oleh pengatur jalan tersebut pak nawi mengungkapkan "..nggeh remen mas, tiang-tiang badhe nyabrang mpun enten kulo.."[16] Dapat disimpulkan bahwa masyarakat dalam hal ini juga mendukung adanya praktik pengaturan jalan illegal yang berada disekitar persimpangan jalan dengan alasan demikian.

 

 

Kebudayaan di Kota Malang mengenai pengatur jalan "pak ogah/polisi cepek" sudah sangat melekat sekali, mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan para "pak ogah" disaat ada persimpangan jalan, pak Nawi mengatakan "kulo diparingi pengendara mayoritas niku roda 4 mas.."[18] jadi, dalam kebudayaannya antara pengendara dan "pak ogah" sudah menjadi kebiasaan dan budaya bahwa jika setelah disebrangkan mereka mengasih imbalan berupa uang seikhlasnya.

 

Analisis pada penelitian ini membahas mengenai suatu peraturan pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 tentang ketertiban umum dan lingkungan dimana didalamnya membahas tentang adanya larangan bagi seseorang atau kelompok untuk melakukan pengaturan jalan dengan mendapat imbalan jasa dan juga melakukan pungutan uang bagi pengendara umum dan juga angkutan jalan. Akan tetapi didalam realitasnya para pengatur jalan "pak ogah" sangat marak beroperasi di daerah persimpangan jalan yang berada di kota malang , sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan undang-undang atau peraturan tersebut tidak efektif.

 

Selain itu, juga masih ada beberapa elemen yang tidak dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada, sebagai bukti realitas ketika wawancara adalah faktor penegakan hukum yang tidak dijalankan sepenuhnya oleh opnum terkait hal tersebut yakni kepolisian, karena dalam hal ini kepolisian adalah pihak yang sangat berpengaruh khususnya didalam pengaturan lalu lintas.

 

Juga ada beberapa faktor lain menurut teori efektifitas hukum yang juga menjadi pertimbangan yaitu masyarakat, realitas yang ada para masyarakat merasa senang akan adanya pengaturan jalan sehingga para pengatur jalan memanfaatkan hal tersebut sebagai ladang mata pencaharian hal tersebut juga sudah membudaya , oleh karena itu implemementasi pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 tidak efektif, sehingga adanya suatu penyimpangan dalam realitasnya,

 

Status para pengatur lalu lintas atau "pak ogah" tersebut sesuai dengan analisis adalah sebagian besar dari mereka tidak mempunyai izin, sehingga tidak adanya ketrampilan khusus dalam mengatur lalu lintas, namun ada sebagian juga sudah mempunyai izin dan mengetahui peraturan yang diberlakukan. Dan hal ini dianggap tidak memenuhi standarisasi seorang pengatur jalan yang resmi.

Oleh karena itu, penulis mensarankan agar beberapa faktor yang kurang sesuai dengan peraturan perundang -- undangan tersebut perlu diadakan suatu tindakan dari pihak terkait , alangkah lebih baiknya jika semua pihak pengatur jalan atau pak ogah bisa faham dan mengerti, oleh karena itu menurut penulis perlu diadakannya suatu sosialisasi dan perekrutan dan pembinaan secara intensif dan juga melegalkan status para pak ogah di Kota Malang. Saran yang lain juga dengan adanya pendataan terhadap pak ogah dikota malang kemudian kemudian diadakan pelegalan dan pemberdayaan terhadap para pak ogah, karena hal ini juga akan dapat membantu mengentaskan para pak ogah dari kemiskinan, karena dianggap peran pak ogah yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh pengguna jalan terkhusus jika keadaan jalan sedang sangat ramai dan sulit untuk dikendalikan.


 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya implementasi pasal 5 Peraturan Daerah Kota Malang No. 2 Tahun 2012 tersebut tidak efektif karena didalam realitasnya para pengatur jalan "pak ogah" masih marak beroperasi di daerah persimpangan jalan yang berada di Kota Malang. Jika dikaji lebih dalam dan dikaji menggunakan teori efektifitas hukum oleh Soerjono Soekanto, maka ada beberapa elemen yang perlu diperbaiki yakni penegak hukum peraturan tersebut yang kurang baik dalam penegakannya. Dan masyarakat yang menjadi "Pa Ogah" tidak dapat disalahkan karena para masyarakat, sangat membutuhkan peran pak ogah, juga budaya adanya pengaturan dipersimpangan jalan yang sudah melekat di Kota Malang.

Sedangkan status pak ogah mengenai legal dan tidaknya mereka, dalam faktanya sesuai hasil wawancara yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua pengatur jalan atau "pak ogah" sesuai dengan peraturan yang ada, sebagian besar banyak yang tidak melakukan perizinan dan sebagian sudah ada yang melakukan perizinan.

Akan tetapi penulis mensarankan adanya suatu sosialisasi dan perekrutan serta pembinaan secara intensif, juga pelegalan terhadap status para pak ogah di Kota Malang sehingga dari segala bentuk pandangan baik dari segi hukumnya atau undang -undangnya juga penerapannnya akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
 
 

[1]http://suryamalang.tribunnews.com/2016/05/30/penduduk-kota-malang-bertambah-158-persen-tiap-tahun diakses pada tanggal 14 Desember 2017 pada pukul  23.07 WIB

[2] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), h. 105

   

[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatau pengantar, (Bandung: Rajawali Pers, 1996), h. 20

   

[4] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.

   

[5] Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi, (Jakarta:Rajawali Press,2013), h. 375

   

[6] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1 (Jakarta: Kencana, 2010),  h. 375.

   

[7] Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone, 1998),h.186

   

[8] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001),  h. 55.

   

[9] Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi (Bandung: CV. Ramadja Karya, 1988), h. 80.

   

[10] Soerjono Soekanto,  Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, (Bandung: Remaja Karya, 1985), h.7

   

[11] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum(Bandung: Bina Cipta, 1983), h. 80.

   

[12] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.

   

[13] Wawancara dilakukan pada Tanggal 16 Desember 2017

   

[14] Wawancara dilakukan pada Tanggal 16 Desember 2017

   

[15] Wawancara dilakukan pada Tanggal 16 Desember 2017

   

[16] Wawancara dilakukan pada Tanggal 16 Desember 2017

   

[17] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.

   

[18] Wawancara dilakukan pada Tanggal 16 Desember 2017

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun