Mohon tunggu...
Marselia Ika
Marselia Ika Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis lepas

Introvert yang senang menulis, mendengarkan musik dan mengamati.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjadi Pemandu Dadakan di Bandara Juanda Surabaya

19 Februari 2023   18:15 Diperbarui: 19 Februari 2023   18:33 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wanita solo backpacker berada di bandara. sumber : Pixabay/JESHOOTS-com

Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir Tuhan bekerja, tetapi saat melaluinya, ada kesadaran, Eureka momen, oh begini toh.

Setelah pengalaman saya yang terdampar di Jogja, sekarang saatnya pulang ke kampung halaman, Pontianak. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya memilih kereta paling pagi dari Yogyakarta ke Surabaya.

Dengan penghuni perut yang mulai menggelar konser, bunyi orkestra merdu mengalun, saya memilih membayar para pemain konser dengan sepotong roti, tidak sempat sarapan.

Niat awalnya, saya akan membeli dari mbak-mbak petugas KAI yang mendorong troli di kereta, entah apa sebutan profesi mereka.

Saya ingat betul, kereta berangkat pukul 07.05, seorang ibu yang duduk di kursi seberang menyapa pertama kali.

"Mbak, boleh minta tolong?"


"Kenapa, bu'?"

"Tolong fotoin." 

Saya mengangguk dan tersenyum. Ibu-ibu eksis, hehehe. Dengan senyum sumringah ibu itu menyodorkan hp-nya.

Saat saya mengangkat hp, si ibu sudah siap dengan pose-posenya.

"OK, satu, dua, ti...ga," beberapa jepretan sebelum sang ibu puas.

Perjalanan dari Jogja ke Surabaya tak kalah cantik dengan lajur jakarta-jogja. Turun dari kereta saya langsung order taxi online ke bandara, tancap gas.

Ternyata Surabaya itu luas, rek. Sayang saya tidak sempat mengeksplor kota ini. Mungkin lain waktu, saat ada rezeki. Rezeki sehat, waktu, dan uang.

Yang saya sukai di bandara Juanda ini adalah tempat duduk, Alhamdulillah, banyak yang kosong. Orang-orang banyak yang memilih berdiri sembari mengobrol berkelompok.

Saya duduk seorang diri, dengan troli penuh koper seperti orang mau pindah rumah. Pesawat saya, si hijau dijadwalkan terbang pukul 15.30. Lumayan saya punya waktu 2,5 jam untuk bersantai.

"Mbak, sendirian?"

Suara teguran terdengar dari belakang, ketika saya menoleh seorang laki-laki muda yang bertanya.

"Iya, mas."

"Mau kemana?"

"Pontianak."

Mendengar jawaban saya, mas itu tersenyum.

"Mbak, adik saya juga mau ke Pontianak, boleh barengan nanti di pesawat?" tanya ia. 

Baru saya sadar perempuan di sebelahnya yang dari tadi memegang amplop putih, hanya mendengarkan percakapan kami.

"Oh, boleh, mas."

"Saya titip ya, mbak."

Kami pun berkenalan, si mbak ternyata dari pulau di sebelah Surabaya, hendak menjumpai keluarga calon suaminya di Singkawang, yang jaraknya masih berjam-jam perjalanan dari Pontianak. Si mbak pindah duduk ke samping saya. Mas yang tadi pulang, ketika melihat adiknya sudah memilliki teman.

"Balik ke Madura, kak." kata adiknya.

"Oh, jauh ya rumahnya."

"Lumayan kalau dari Surabaya. Saya tuh gak pernah sendirian naik pesawat, biasanya sama keluarga. Jadi gak ngerti mau ngapain. Nanti temani ya, kak." pintanya.

"Iya." Padahal ini pertama kali saya ke bandara Juanda juga, hahaha.

Ternyata si mbak orangnya supel, saya punya teman ngobrol. Ketika saya tanyakan tiketnya, si mbak mengulurkan amplop yang sedari tadi digenggamnya.

ilustrasi tiket pesawat. Sumber : Pixabay/JoshuaWoroniecki
ilustrasi tiket pesawat. Sumber : Pixabay/JoshuaWoroniecki

Saya hanya mengelus dada melihat harga yang dibayarkan, Rp 1,3 juta untuk selembar tiket melalui agen travel, sedangkan saya hanya membayar Rp 600 ribu melalui aplikasi online. Dua kali lipat lebih selisihnya. 

"Sudah pesan tiket pulang, mbak?" tanya saya.

"Belum, nanti calon suami yang belikan, mbak." 

Jiwa hemat bin kaum mendang-mending saya segera timbul. 

"Mbak, beli nya lewat online saja, nih caranya." Kemudian saya menunjukkan si mbak cara memesan tiket di aplikasi tersebut. 

"Mbak."

Kali ini, suara laki-laki kembali terdengar dari belakang kami. Saya dan mbak menoleh.

"Terbang kemana, mbak?"

"Pontianak, mas." si mbak yang menjawab.

"Boleh titip abi sama umi, mbak? Mereka baru pertama naik pesawat, mau ke Pontianak juga, nanti disana ada yang jemput. Tolong bantu naik pesawatnya, ya." pinta si mas.

Mbak menoleh ke saya, saya pun mengangguk. Ya sekalian saja, tidak ada bedanya juga, cuma nambah orang.

"Iya, mas." jawab si mbak.

Mas-mas itu tersenyum, lalu berpamitan ke abi dan uminya, cium tangan dan pergi.

"Mau kemana, pak?" tanya saya.

"Ini dek, mau ke sungai jawi (nama jalan di Pontianak). Ada keluarga mau nikah." jawab si Bapak dengan logatnya yang kental.

"Oh. ya nanti ikut saja kalau masuk ke dalam ya, pak. Tiketnya bawa kan?"

Bapak itu memberikan saya 2 lembar tiket, yang saya cek jadwalnya sama. pukul 15.30.

Oke, sekarang saya resmi membawa 3 orang yang awam. 

"Pak, nanti ktp bapak sama ibunya siapin ya, biar mudah pas check in di dalam."

Gimana, sudah mirip dengan pemandu wisata? hehehe.

Jam setengah 3 kami sudah boleh masuk. Saya berjalan paling depan, mendorong troli yang penuh dan berat. Si mbak segera menolong saya, berdiri di depan menarik troli agar jalannya tidak bergerak ke kiri-kanan.

Begitu sampai di konter check in, saya mendapati satu masalah. Barang bawaan saya terlalu banyak. Padahal saya sudah membeli tambahan bagasi 30 kg, ternyata masih ada 1 koper, dan 2 tas yang tidak bisa masuk.

Saat saya bilang akan membeli tambahan bagasi, bapak petugasnya menyarankan untuk menitip dengan si mbak.

"Teman, kan? titip saja kopernya di tiket mbaknya."

"Iya pak, boleh." si mbaknya yang menjawab.

Alhamdulillah. Tersisa sebuah tas punggung dan 1 tas jinjing yang saya bawa. 

Sambil menunggu pasangan suami istri menyelesaikan proses check in, saya mengamati bandara Juanda, dan melihat kemana langkah orang-orang selanjutnya. Mencari dimana pintu ke ruangan boarding.

"Sudah, dek." ucap si bapak.

"Oke, ayo pak, tunggu pesawat di dalam. Ktp sama tiketnya pegang saja, nanti masih di cek di dalam."

Si bapak mangut-mangut, menyerahkan ktp dan tiket kepada istrinya.

Melewati berbagai pemeriksaan, saya terkadang memberikan instruksi,

 "Pak, bu, hp nya keluarkan taruh di bak kecil."

Setelah di ruangan boarding kami duduk berdekatan, si mbak dengan tas punggung, bapak dan ibu yang barang bawaannya sudah di bagasi pesawat, dan bawaan saya yang masih banyak, tas punggung dan tas jinjing.

Saya pikir akan aman saja, ternyata si hijau ketat, ada timbangan sebelum keluar dari ruangan boarding.

Saya sudah deg-degan, melihat beberapa penumpang harus balik, mengurus kopernya untuk ditempatkan di bagasi pesawat.

Saya yakin tas punggung saya beratnya mendekati 7 kg, berarti tas jinjing ini harus diurus ke bagasi. Namun, si bapak menyeletuk,

"Sini tas yang itu saya bawakan, dek." ucapnya ringan, tetapi bagai alunan merdu ke telinga.

"Oh, iya , tolong ya, pak. Nanti habis dari sini (ruang boarding) saya ambil lagi."

Kami pun lolos dari ruang boarding, saat saya mau mengambil, bapak itu menolak.

"Saya bawakan sampai pesawat, ringan kok." ujarnya. 

Padahal saya tahu seberat apa tas itu. 

Akhir cerita kami duduk manis di pesawat, sampai dengan selamat di Pontianak. Dan koper-koper ini selamat pulang ke rumah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun