Masih belum banyak orang ketahui produk-produk dari gambut ini. Saya sendiri belum tahu kalau tidak diceritakan oleh Tika.
Misalnya tanaman purun dapat tumbuh di rawa tanpa harus ditanam. Karakter tanaman ini memang cocok di daerah gambut, karena purun mampu tumbuh di lahan yang kadar asamnya tinggi. Semakin banyak air yg menggenangi tubuh tanaman, semakin tinggi pula daunnya.
Untuk menambah penghasilan petani dan warga setempat, purun diolah kembali oleh menjadi kriya bernilai jual, dan layak pakai.
Sedangkan untuk kopi liberika yang memiliki aroma dan tekstur biji seperti buah nangka ini banyak ditanam petani di kawasan lahan pasang surut.
Di lapangan para petani ini juga menghadapi kendala seperti konversi penggunaan lahan untuk kelapa sawit menjadi kopi. Kendala lain adalah keterbatasan informasi pengembangan budidaya kopi liberika. Juga belum adanya peremajaan tanaman. Memang masih banyak pekerjaan rumah untuk dilakukan.
Langkah Antisipasi yang Perlu Dilakukan
Pemasaran hasil pangan dari lahan gambut oleh warga lokal ini masih konvensional. Cara memasarkan lewat pameran UMKM dan belum optimal dalam penggunaan media sosial.
Keterbatasan ini diakui Tika yang menimbulkan ide untuk mendirikan koperasi agar produk pangan hasil lahan gambut bisa dipasarkan dengan mudah.
Obrolan kami tentang menangkap peluang dan efek jangka panjang dari pekerjaan ramah lingkungan di lahan gambut ini berlanjut seru. Saya mengandalkan catatan-catatan kecil untuk mencoba menguraikan seringan mungkin.
Saat ini semua produk hasil tanah gambut ini belum optimal masuk ke digital karena lokasi mereka jauh dari paparan internet. Selain itu juga sumber daya manusia yang memang masih rendah kemampuan adaptasi digitalnya.
Melihat kondisi seperti sekarang, sayang jika melewatkan peluang dalam menggalakan usaha yang berwawasan lingkungan hidup.