Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. â– JUST BE MYSELFâ– 

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kenangan Masa Kecil Menjalani Puasa Ramadan

2 April 2023   08:22 Diperbarui: 2 April 2023   08:32 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustarsi masa kecil, anak-anak TPQ (dokpri/et's)

Sejak kecil saya sudah dilatih puasa oleh orang tua. Tepatnya kelas 1 SD saya sudah puasa walaupun hanya sampai jam 10 . Lalu kelas 2 SD puasa sampai jam 12 siang. Terkadang sampai sore hingga waktu buka puasa. Hanya saja saya beberapa kali batal puasa karena minum tapi orang tua taunya masih puasa. Baru ketika kelas 3 SD sudah mulai penuh sehari sampai waktunya berbuka.

Pengalaman saat usia kelas 2 SD itulah dalam kondisi puasa saya sering main dan mandi di sungai. Pada saat mandi bareng teman-teman kecil terkadang minum air sungai dengan sengaja. Atau mainan di sawah cari keong tapi karena haus akhirnya minum air sawah. Tapi sampai di rumah orang tua tidak tau saya sudah batal lantaran minum air mentah. Sehingga ikut berbuka puasa. Barangkali karena sering minum air mentah itulah perut saya jadi sering sakit.

Saat itu juga sama sekali tidak berpikiran kalau minum air sungai atau air sawah tidak sehat dan bisa bikin penyakit.

Masa kecil saya belum begitu banyak nasihat-nasihat orang tua yang saya terima. Entah karena saya masih kecil belum waktunya diberi masukan-masukan atau mungkin karena menganggap saya bisa dipercaya. Atau juga karena bapak sibuk dan ibu juga repot mengurus adik-adik yang masih kecil-kecil juga, sehingga tidak ada kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan saya.

Karena itulah saya pernah berbohong pada ibu saat disuruh sekolah agama (madrasah diniyah atau biasa disebut diniyah). Karena sedang puasa, pulang sekolah dasar jam 12, saya merasa lemas dan loyo. Perut juga sakit mungkin hanya karena rasa lapar, bukan karena penyakit perut yang lain.

Setelah shalat dzuhur saya tiduran. Ketika ibu menyuruh saya siap-siap untuk berangkat diniyah, saya langsung tengkurap sambil tangan memegang perut. Saya bilang bahwa perut saya sakit banget. Awalnya ibu memaksa saya tetap berangkat diniyah. Tapi saya nggak mau berangkat karena masih sakit perut. Setelah saya menangis baru dibolehkan nggak berangkat diniyah.

Sebenarnya waktu itu sudah berangsur sembuh sakit perut saya, tapi karena tubuh lemas dan ada rasa malas untuk berangkat diniyah, saya pura-pura menangis.

Perlu diketahui, untuk berangkat diniyah saya yang masih kecil harus berangkat sendiri dengan jalan kaki sejauh 600 meteran, melewati sawah-sawah dan sungai. Sementara anak-anak seumuran saya tidak ada yang sekolah diniyah karena mungkin tidak disuruh orang tua mereka.

Oya, saya menangis menahan sakit perut disamping supaya tidak dipaksa berangkat diniyah, supaya ibu menyuruh makan. Saat itu pengetahuan saya kalau puasa menangis pada siang hari  puasanya jadi batal. Dengan begitu harapan saya supaya ibu menyuruh membatalkan puasa dengan makan nasi.

Saya pikir percuma saja jika puasa diteruskan tapi sudah batal karena menangis. Saya menunggu ibu mengambil makanan dan menyuruh makan.  Atau setidaknya menyuruh makan dengan ambil makanan sendiri. Ternyata ibu menghampiri saya membawa balsem dan mengolesi perut saya dengan balsem.

Sambil menghibur untuk melanjutkan puasa, ibu meyakinkan katanya, " namanya puasa ya wajar perutnya sakit, nanti juga sembuh."
Setelah itu saya tertidur. Gagal batal puasa, hehe.


Meskipun tidak banyak nasihat orang tua, ketidakjujuran saya hanya sebatas pengalaman di atas. Tak lebih dari itu.

Sebagai anak sulung dan punya adik yang masih kecil-kecil, saya terbiasa membantu orang tua. Dengan menyapu, mencuci piring, dan disuruh belanja ke warung. Kadang juga kalau hari Minggu disuruh belanja ke pasar jalan kaki lewat pematang sawah. Jarak dari rumah ke pasar lebih dari 700 meter.

Kalau diingat-ingat sekarang, zaman dulu kok tega ya orang tua menyuruh anak kecil jalan kaki jarak jauh, lewat persawahan yang luas dan sepi, di pagi yang dingin dan masih remang-remang.
Kenapa nggak khawatir ada orang jahat atau mengalami kejadian-kejadian yang lain.

Tapi ya begitulah orang tua pada masa kecil saya. Mungkin juga zaman dulu masih aman-aman saja tidak banyak kejahatan. Tidak seperti sekarang, banyak tindak kejahatan  pemerkosaan, penculikan, dan lain-lain.

Selain bantu-bantu orang tua, saya terbiasa mandiri terutama dalam hal mencari ilmu agama. Namun semua itu tidak lepas dari kedisiplinan yang diterapkan orang tua. Artinya saya ditekankan untuk mengaji, shalat, sekolah diniyah, dan puasa. Sedangkan urusan-urusan terkait semua itu saya siapkan sendiri.

Pengalaman lain dalam bulan puasa ketika kelas 5 dan kelas 6 sekolah dasar mungkin lebih merupakan pengalaman baik. Tidak seperti kelas 2 SD yang ada bohong-bohongnya.

Setiap pagi saya shalat Subuh dilanjutkan pengajian atau kuliah subuh di pondok pesantren (ponpes) API Assalafiy. Jarak dari rumah sekitar 500 meter.

Setelah makan sahur saya langsung bersiap-siap ke ponpes. Dari peralatan shalat dan ngaji, juga obor minyak untuk penerangan di jalan saya persiapkan sendiri.

Jam 3 pagi saya berangkat ke ponpes. Dengan membawa obor minyak yang saya nyalakan dari rumah, saya berjalan kaki melewati lapangan sepak bola, dua jembatan sungai yang sepi, dan menyeberang jalan raya.

Pukul 06.30 kuliah subuh selesai dan saya buru-buru langsung pulang. Jalan kaki saya percepat karena takut telat masuk sekolah. Lumayan susah juga lari-lari kecil sambil bawa peralatan shalat, alat tulis, dan obor.

Pulang sekolah dasar jam 12 siang. Istirahat dan shalat dzuhur di rumah. Kadang juga shalat di mushalla. Pukul 14.30 sampai pukul 16.00 sekolah diniyah.

Pulang diniyah mandi lalu shalat Asar di mushala dilanjutkan mengaji Alqur'an hingga menjelang Maghrib. Praktis tidak ada ngabuburit-ngabuburitan.

Sehabis buka puasa dan shalat Maghrib, langsung berangkat ke ponpes untuk shalat Isa dan Tarawih. Sampai di rumah jam 9 malam.

Kalau siang hari tidak sempat belajar, pulang Tarawih dari ponpes belajar sebentar lalu tidur. Bangun pukul 02.00 karena harus shalat malam dan tadarus (baca Alqur'an) sebelum makan sahur.

Lalu ke ponpes jam 3 pagi atau kadang jam 3 lewat sedikit.

Begitulah aktivitas rutin setiap hari selama bulan puasa saat kecil dulu. Meskipun orang tua menekankan kedisiplinan namun kembalinya pada diri sendiri untuk menjalankan dengan kesadaran sendiri.

Jika ada pengalaman buruknya mohon abaikan, jika ada hal yang baik semoga bisa diambil hikmahnya.

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi teman muslim semoga lancar dan sehat selalu. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun