Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jokowi: "Pusing, Pusing..." Ahok: "Sakit Kepalaku!"

18 Desember 2012   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:24 3001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13558709421210717226

[caption id="attachment_222528" align="alignleft" width="663" caption="Boneka Jokowi-Ahok yang dirancang Didi Kempot. Sumber foto: http://us.metro.news.viva.co.id/news/read/339218-boneka-jokowi-ahok-dirancang-didi-kempot"][/caption] "Jadi gubernur itu sulit. Saya baru tiga minggu saja sudah pusing setengah mati. Pusing, pusing, pusing, pusing," kata Jokowi saat menjadi keynote speaker di sebuah acara seminar motivasi di Auditorium gedung BPPT, Sabtu (10/11). "Mau drop tahan banjir juga nggak punya uang. Tapi hibah bisa Rp 2,2 triliun. Ini nggak sesuai, ini Bapak-bapak kalau mau baca, ini sakit kepalaku. Yang namanya yayasan-yayasan segala macem. Itu ratusan (yayasan) dapat uang semua. Itu nggak bisa. Ini uang rakyat," kata Ahok. Hal ini disampaikan Ahok dalam pertemuan bersama pengurus dan pengelola IKJ di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat (17/12/2012). Membaca dua statement itu membuat saya tersenyum geli campur getir.  Bagaimana tidak, beliau berdua itu baru menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur 64 hari yang lalu kok sudah menderita sakit puyeng-puyengan.  Seharusnya kan bulan madu.  Menikmati segala fasilitas dan menghitung uang yang bakal ngalir?  Kok belum-belum sudah gliyengan kepalanya? Itu baru 64 hari, belum lagi genap setahun. Bagaimana bisa tahan sampai lima tahun? Jangan-jangan mereka berdua ini orang yang tidak kompeten untuk menduduki jabatan basah itu? Jangan-jangan mereka itu orang yang cari enaknya saja, nggak mau bersusah payah? Maunya dapat uang banyak?  Jangan-jangan mereka itu politisi karbitan? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat melintas di kepala.  Tapi hanya selintas. Jokowi - Ahok sepertinya kok jauh dari kriteria kayak gitu.  Tapi kenapa kok sudah mengeluh pusing dalam memperjuangkan kepentingan rakyat banyak? Jika kita telaah lebih dalam, kita sebenarnya sudah tahu apa yang bakal dihadapi oleh Jokowi - Ahok bila melihat karakter mereka dalam menghadapi keadaan wilayah kerjanya. Tidak berlebihan jika dibilang bahwa Jakarta itu miniaturnya Indonesia. Kalau di daerah masalah-masalah yang bikin pusing itu ada dan serupa tapi hanya dalam skala kecil. Karena jumlah uang yang beredar di Jakarta itu sebanyak kurang lebih 65% dari perputaran uang secara nasional, bahkan ada yang menyebut angka 80%, maka sewajarnyalah kalau masalah yang ada di Jakarta juga berlipat sebanyak 65 atau 80 kali dari yang di daerah.  Sebuah masalah yang punya bobot dan dosis tinggi.  Tidak heran jiga baru sedikit dikunyah sudah bikin kliyengan Jokowi dan Ahok. Lebih runyam lagi, Jokowi dan Ahok ingin menyelesaikan sebagian besar masalah-masalah yang ada secepat dan seberes mungkin.  Senjata yang dipakai mereka berdua untuk menyelesaikan semua itu adalah pikiran yang sistematis, berdasar fakta obyektif, logis dan rasionil.  Sikap profesional ala birokrat modern.  Mereka berdua adalah tokoh yang perfectionist dan sekaligus profesional.  Semua harus pada pada tempatnya dan bekerja sesuai fungsinya hingga pada hal-hal yang detail. Masalah harus dikerjakan atau diselesaikan dengan menganut sistem kerja efisiensi dan efektif. Sikap yang dipunyai Jokowi - Ahok itu hanya berlaku sepertinya kok hanya sampai pada level pribadi dan sepertinya kurang tepat untuk diterapkan untuk orang lain atau kalangan lebih luas.  Parahnya lagi, mereka juga tidak bisa bersikap otoritarian agar orang lain mengikuti cara yang dikehendaki.  Management yang bersifat otoritarian hanya efektif untuk menghadapi situasi krisis di mana diperlukan gerak cepat dalam hal pengambilan keputusan.  Bukan dalam suasana yang demokratis. Tidak heran jika akhirnya Jokowi dan Ahok jadi pening sendiri. Masyarakat kita belum terbiasa dengan kerja keras, apalagi yang efektif dan efisien.  Karena menurut pengalaman mereka,  kerja keras belum tentu dapat hasil lebih baik daripada yang bekerja asal-asalan. Kerja keras juga belum berarti akan dapat promosi. Kenaikan pangkat bisa otomatis atau dibeli.  Kualifikasi (ijasah/skill) juga bisa dibeli.  Ethos kerja birokrasi memang masih perlu banyak pembenahan.  Time is money belum bisa masuk ke nalar kita. Waktu serasa bergerak pelan di Indonesia.  Gaji kita terima perbulan tidak per jam. Konsep tentang waktu belum diresapi benar oleh masyarakat luas. Jam karet biasa. Harpitnas juga lumrah. Karena konsep kesadaran tentang "waktu" masih belum begitu membudaya, maka tidak heran jika masyarakat menuntut sesuatu yang kurang punya kesadaran tentang waktu ini. "Nanti ada banjir loh pak, ini kok banjir belum bisa diselesaikan," ujar Jokowi menirukan pertanyaan warga wilayahnya - yang langganan terendam banjir, dalam acara seminar yang juga dihadiri CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo, dan motivator Andrie Wongso.  Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu mencontohkan, salah satu permasalahan Jakarta yang selalu dipertanyakan kepadanya adalah banjir.  Menjawab permasalah tersebut, Jokowi meminta kepada warga untuk bersabar. Karena setiap masalah tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat. "Singapura juga mengubah penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum juga membutuhkan waktu kurang lebih 6-7 tahun. Inikan proses lama. Jangan membalikkan telapak tangan langsung rampung, kayak dewa saja, kayak superman," kata Jokowi di Gedung BPKP Pemprov DKI Jakarta, Kamis (13/12). Itu dua contoh perihal konsep tentang waktu.  Tidak ada kesadaran pikir bahwa sebuah kerja itu perlu perencanaan dan butuh waktu. Tidak bisa disulap begitu saja sebagaimana kehidupan politik, hukum, ekonomi dan sebagainya yang telah senantiasa kita jumpai selama ini.  Semua bisa disulap.  Tidak peduli apakah itu melawan nalar apa tidak.  Parahnya, hal-hal hasil sulapan itu karena demikian seringnya, akhirnya seperti sudah menjadi kebenaran umum. Nalar yang tidak jalan itu ternyata juga terjadi di kalangan mahasiswa. Hal ini terjadi saat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menerima lima orang perwakilan  BEM Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta.  Perwakilan mahasiswa tersebut menagih janji pada Ahok tentang banyaknya minimarket menjamur yang mematikan pasar tradisional. "Yang jelas sampai saat ini kami belum mengeluarkan izin pun sampai hari ini makanya kami baru 2 bulan. Anda maunya saya ngomong sopan santun kan, saya juga mantan aktivis, sama," ujar Ahok dengan nada gusar di Balai Kota Jakarta, Selasa (18/12). Ahok yang saking jengkelnya hampir saja ia adu fisik dengan para mahasiswa kalau saja tidak dihalangi oleh satpam. Satu contoh lagi, bahwa kita tidak terbiasa menggunakan nalar sehat dalam berkehidupan sosial, politik dan hukum.  Peraturan-peraturan yang dibuat sekenanya tanpa koordinasi.  Peraturan dibuat seperti seenak udelnya sendiri yang penting bisa dapat uang komisi atau kerjaannya jadi lebih gampang.  Ahok mengeluhkan tentang proyek pembangunan rumah sakit Koja yang selalu tertunda-tunda karena terbentur Permendagri dan bersilangan dengan peraturan lain yakni Peraturan Presiden (Perpres). "Ini satu hal yang sangat ngaco dan ngaco luar biasa kenapa enggak ada keseragaman," ujar Ahok.  Itu baru satu kasus pak Ahok.  Pasti banyak lagi kasus lain yang bakal muncul nanti. Barangkali saking jengkelnya Ahok sampai bilang: "Saya sampai katakan dengan keras kalau kebijakan ini kita tempuh saya sampai masuk penjara, saya masuk penjara. Saya siap mati bila kebijakan saya ambil salah.". Dari pihak swasta juga tidak kalah ramainya.  Honda Pluit menilai papan reklame yang akan dipasang di JPO dikhawatirkan akan membuat warga menilai Pemprov DKI kurang nasionalis, mengingat Honda bukan merek asal Indonesia. Hal ini pun menyulut murka Ahok. "Kalau mau dipindahkan, kemarin sudah dijawab resmi kok, nggak usah nasionalis-nasionalis gitu. Jangan jualan Honda, jualan Esemka saja! Jangan bilang nasionalisme-nasionalisme, sampai orang tahu itu Honda, Bapak juga buka pameran Honda, saya tawarkan kok ditolak?" kata Ahok yang tampak marah di kantornya Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (17/12/2012). Lengkaplah kepusingan-kepusingan yang dialami oleh Jokowi - Ahok.  Belum lagi masalah-masalah peninggalan Gubernur sebelumnya yang masih menggantung belum selesai. Dan rata-rata masalah yang ditinggalkan itu karena sebab-sebab yang tidak masuk nalar.  Dan banyak lagi contoh dan kasus-kasus yang bakalan membuat mereka pusing tujuh keliling. Jokowi - Ahok kalau mereka tidak merubah cara kerjanya bakal ambruk sendiri. Mereka berdua harus berani untuk melakukan kompromi dengan idealisme mereka dan melihat skala prioritasnya.  Beberapa hal boleh dituntut perfeksionisnya, tapi beberapa hal yang kurang mendesak sebaiknya cukup dimonitor saja dulu. Atau dibiarkan saja dulu.  Let's it go.  Misalnya masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang perokok.  Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melarang PNS merokok di areal kerja Pemprov. Bagi yang melanggar, salah satu sanksinya adalah pemotongan tunjangan kesehatan dan gaji. Masalah ini kan bisa dinomer-duakan dulu. MRT, masalah banjir, monorail, kemacetan lalu lintas dan anggaran-anggaran yang tidak masuk akal sehat adalah hal-hal yang seharusnya menduduki prioritas utama dulu. Tidak bisa semuanya dikerjakan secara serempak dan menurut sebagaimana diinginkan.  Terlalu banyak dan meluas.  Sistemnya sudah bobrok, perlu pembenahan secara bertahap selama lima tahun.  Terutama untuk mempersiapkan mentalitasnya.  Ibaratnya seperti makan bubur panas.  Dimulai dulu dari pinggir kemudian berangsur ke pusatnya. Tidak semua orang di Jakarta punya penalaran sehat.  Tidak semua bisa mikir logis dan obyektif berdasar fakta. Tidak semua orang di metropolitan Jakarta punya ethos kerja yang mengabdi pada profesionalisme, efisiensi dan efektifitas.  Masyarakat kita sudah terbiasa mikir berdasar kebenaran yang dipaksakan.  Kebenaran hasil sulapan.  Kebingungan mereka banyak yang dilarikan ke dunia supernatural karena nalar mereka sudah tidak bisa menampung lagi hasil sulapan-sulapan yang bertumpuk dan makin susah untuk diuraikan.  Terlalu banyak hal-hal yang melawan hati nurani disorongkan ke bawah tempat tidur kesadaran kita semua. Seorang pria setengah tua bernama Irba, tiba-tiba mengamuk di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pria tersebut terlihat membawa sebilah pisau usai bersitegang dengan kuli panggul stasiun, Selasa (18/12/2012) malam. Irba mengaku tidak takut dengan siapapun karena ia mempunyai sebuah jimat yang disimpannya didalam dompet. "Ini jimat buat jaga diri dan buat penglaris. Saya dapat dari teman," ujar Irba. Nah, itu salah satu contoh cara berpikir masyarakat kita.  Itu PR (pekerjaan rumah) buat Jokowi dan Ahok.  Bahwa masyarakat kita tidak semuanya bisa mengikuti alur pikir Jokowi - Ahok. Dan ini adalah sebuah kenyataan yang susah untuk dipungkiri. Mereka tidak bisa dipaksa untuk bisa mengerti agar bisa mikir pakai nalar.  Perlu waktu untuk merubahnya dan tidak bisa seketika.  Perlu kesabaran dan ketlatenan prima.  Perlu prioritas. Kalau tidak tlaten dan sabar, setahun menjabat jadi Gubernur dan Wakil Gubernur bisa jantungen. *** (HBS)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun