Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Perpustakaan dan Dongeng tentang Peramal

3 Agustus 2016   09:26 Diperbarui: 3 Agustus 2016   09:49 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungguh, aku ingin bercerita padanya.

Perpustakaan pukul dua siang hari rabu. Aku sudah berada di sana kira-kira dua jam, membaca dan menulis makalah. Setelah tujuh puluh persen rampung, aku  merasa harus memperhatikan sekitar dengan maksud melonggarkan arus pikiran yang pampat dan menyegarkan mata yang kering dan sedikit gatal.

Sebenarnya aku lebih berharap operator menyetel musik-musik instrumental. Reminiscence karya Mattia Cupelli misalnya atau lagu-lagu Yiruma. Sementara lagu yang sedang dimainkan adalah milik band-band lawas. Aku bisa apa. Selagi taraf intensitas bunyinya pas di telinga, yasudahlah.

Aku tidak yakin berapa desibel tepatnya musik saat itu. Mungkin tiga puluh atau empat puluh. Entahlah. Aku juga tidak mau repot-repot membandingkannya dengan taraf intensitas bunyi ideal perpustakaan. Ini lebih mengandalkan kenyamanan saja. Sungguh cara mengukur yang tidak sepatutnya. Tetapi siapa yang peduli. Orang-orang yang seperti Albert Einstein dan Stephen Hawkin itu sungguh tidak banyak.

Di hadapanku jendela kaca. Dari kursiku aku bisa melihat bukit, rumah-rumah, pertokoan, jalan-jalan arteri, arus kendaraan yang lancar, langit dan layang-layang. Lalu, baru kusadari ternyata aku berada di ruang baca yang lengang. Walaupun tadinya tidak bisa juga kusebut ramai, tetapi aku masih ingat beberapa orang yang sedang berdiskusi di meja paling pojok juga beberapa individu yang tenggelam dalam bacaannya masing-masing pada kursi-kursi yang memang diperuntukkan bagi yang datang sendiri, meskipun bukan wajahnya (yang kuingat) melainkan hanya sebatas keberadaan saja. Seandainya kami ditakdirkan bertemu lagi entah di mana dan kapan, tidak ada jaminan sama sekali bahwa salah satu akan mengingat yang lainnya meskipun tidak ada yang tidak mungkin. Terlebih lagi karena mereka sudah pergi satu per satu tanpa permisi dengan yang lainnya dan memang tidak seorang pun menganggap itu perlu.

Selain kehadiranku, hanya seorang perempuan yang duduk di seberang berjarak satu meja ke kanan. Dalam rentang jarak yang kurang lebih hanya se-diagonal meja baca yang berukuran setengah meter kali setengah meter itu, aku maupun perempuan itu masing-masing berkesempatan mencuri-curi lihat apa-apa saja kiranya yang sedang kami seriuskan. Tetapi nampaknya hanya aku yang hendak mengambil kesempatan demikian sekarang.

Sebelum itu, pikiranku malah sibuk menerka-nerka segala hal tentang perempuan itu. Usianya kutaksir masih belasan tahun, kemungkinan seorang introvert. Melihat yang dibawanya ke ruang baca semuanya adalah majalah wanita terkini, ia bisa jadi adalah seorang sosialita yang up to date terhadap hal-hal yang kekinian.

Kuamati, ia tidak memiliki mata yang besar dan tidak kecil pula. Hidungnya juga tidak terlalu mancung dan tidak pesek pula. Bibirnya juga rata-rata. Ia tampaknya tidak punya fitur wajah yang memudahkan orang lain mengingat wajahnya. Namun jika dilihat secara keseluruhan, mata, hidung, bibir dan bagian lain dari wajahnya—menurutku—menyempurnakan tampilan.

Biasanya saat aku melihat wajah seseorang, lelaki misalnya. Melihat matanya aku terbayang mata biru muda Leonardo de caprio dan berandai-andai bagaimana jika lelaki itu memiliki mata yang sama tetapi tetap dengan fitur wajah lain yang dimilikinya sekarang. Atau membayangkan bibir Angelina Jolie ketika memperhatikan seorang wanita dan berandai-andai bagaimana jika ia memiliki bibir yang sama. Tidak bermaksud apa-apa. Terbatas dalam wilayah pikirannya sendiri, seseorang tentu saja bebas berandai-andai dan punya segudang pemikiran yang unik (bila tidak ingin disebut sebagai aneh) bukan?

Tetapi anehnya perempuan itu tidak membuatku memikirkan mata, hidung, bibir dan bagian-bagian wajah orang lain. Bisa jadi ini sebuah keuntungan. Bertemu dengannya membuatku jadi sedikit waras mungkin. Terlebih lagi karena ia tidak membuatku memikirkan kata cantik, jelita atau semacamnya ketika menatap wajahnya. Semua hal yang rata-rata itu membuatku merasa cukup, entah bagaimana.

Kepada perempuan belasan tahun dengan majalah wanita yang sedang dipegangnya itu, ah, aku tidak berharap ia sedang serius membaca laman horoskop saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun