Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Enam Perspektif tentang Pohon Apel

12 Desember 2017   17:10 Diperbarui: 12 Desember 2017   19:13 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari---barangkali kau sedang berjalan-jalan di suatu tempat---tanpa  kau sadari ada sebatang pohon apel yang dahannya menjuntai keluar dari pagar sebuah rumah dan kepalamu menubruknya, tepat ketika matamu terpaku  kepada seorang gadis yang  menurutmu sangat ... tipemu.

Ia tidak cantik, penampilannya mungkin biasa menurut orang lain,  tetapi luar biasa bagimu. Kau telah lama memimpikan wanita seperti itu  untuk kau jadikan pendamping. Pada hari berikutnya, kau membenturkan  kepalamu dengan sengaja ke dahan yang sama untuk mengenang gadis yang  mencuri hatimu itu. Gadis berbaju kurung yang tampak begitu biasa-biasa  saja. Tanpa sepatu berhak tinggi. Tanpa perhiasan yang bling-blingnya  menyilaukan mata.

Tahun-tahun setelahnya, kau gampang murung setiap melihat buah apel  yang berbaris di pasar, dan dengan susah payah kau menolak hasratmu untuk kembali ke sebuah tempat di mana kau membenturkan kepalamu dengan  sengaja ke sebatang pohon apel. Sejujurnya kau mulai ragu, apakah gadis  yang kau lihat pada hari itu benar-benar ada atau hanya halusinasimu.

Sesungguhnya kau melupakan fakta yang lain, bahwa sebuah pohon apel  yang tidak mau lari dari pikiranmu itu adalah bagian dari sebuah kebun  dan bagi pemiliknya, apel-apel yang membuatmu bersedih itu adalah  harapan bagi dapurnya untuk mengepul setiap pagi. Ketika ia melihatnya,  ia terbayang beras, telur, dan ikan bakar pesanan anak perempuannya yang  berusia lima tahun. Apel-apel itu juga menjadi harapan untuk membelikan seragam sekolah baru untuk ketiga anaknya yang hendak masuk SD, SMP dan  SMA. Sementara kau terus saja memandang ke ujung jalan dan membentur-benturkan kepalamu ke dahan pohon apel.

Pada lain hari, seseorang keluar dari rumah dan berhenti sesaat di  bawah pohon apel itu dan mengenang hari-hari di kala sang ayah dan ia  yang berumur sepuluh tahun membawa pulang bibit. Ayahnya baru saja wafat  seminggu yang lalu. Di sana ia berbisik, "Ayah, kita berhasil."  Perasaannya bercampuraduk antara sedih dan bangga. Baginya, apel adalah  kenangan.

Pada hari lain, seorang anak kecil kebetulan lewat di sana sepulang  sekolah. Ketika melihat pohon apel itu, ia teringat kepada Newton,  seorng ilmuwan yang baru saja diceritakan guru IPA-nya di sekolah.  Sambil membayangkan Newton yang duduk di bawah pohon apel sambil  memikirkan teori gravitasi, ia bertanya-tanya, apa kira-kira yang akan  melintas di pikirannya jika ia yang duduk di bawah pohon apel itu. Ia  pun berencana untuk duduk di sana esok.

Sementara di belahan dunia yang lain, seorang fotografer buta hendak  memfoto apel yang ada di sana. Ia menganggap warna sebagai aroma; Merah sama dengan harum. Ia menganggap cantik sebagai tekstur; Cantik sama  dengan licin dan utuh. Sebelum ia menjepretkan kameranya, apel tersebut hanyalah objek. Ia diperhatikan dan diperlakukan bak seorang putri.  Setelah apel itu menjadi gambar di lembaran kertas foto, ia dikenang  sebagai nilai.

Dan ketika foto apel itu---dengan cara tertentu---sampai pada seseorang,  mungkin yang terlintas di benaknya tak lebih dari pertanyaan ringan  saja:

"Ok, itu apel. Lalu?"(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun