Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sebuah Perspektif tentang Puasa dan Wajah Demokrasi Kita

14 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 15 Maret 2024   18:15 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu, demokrasi. (Dok Shutterstock via Kompas.com) 

Puasa Ramadhan kali ini, 1445 H, berada di tengah-tengah suasana perpolitikan demokrasi nasional, setidak-tidaknya pasca pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu dilanjut dengan proses perhitungan dan rekapitulasi suara berjenjang pada tingkat kecamatan se-Indonesia maupun melalui SIREKAP (Sistem Rekapitulasi).

Konon semenjak awal pencoblosan hingga kini dihantui terus dengan pelbagai problem, mulai dari serangan hacker yang berujung down hingga pada pelbagai issu dan dugaan terkait pengelembungan suara dan seterusnya. 

Selain itu, bangsa Indonesia sebentar lagi kembali melakukan hajatan demokrasi, yakni pelaksanaan Pilkada serentak yang jadwalnya direncanakan berlangsung pada bulan November 2024.

Sehingga, boleh dikatakan bahwa puasa Ramadhan kali ini memang berada dalam suasana perpolitikan demokrasi nasional yang tengah panas-panasnya. 

Bukan saja karena pesta demokrasi kali ini masih menyisakan banyak problem dan teka-teki, akan tetapi juga karena beberapa issu yang bermunculan mewarnai jadwal pelaksanaan Pilkada serentak. 

Pasalnya selain bermunculan calon-calon nepotisme dan oligarki dalam bursa Pilkada, juga terdapat desak-desuk politik agar kiranya Pilkada serentak dapat dipercepat dengan alasan yang tidak logis dan mendasar sama sekali. Di antara alasan yang dikemukakan adalah karena beberapa daerah sekarang dipimpin oleh kepemimpinan non defenitif dari Pelaksana Tugas (PLT).

Meskipun demikian, puasa dan demokrasi merupakan dua hal yang berbeda. Puasa adalah wilayah agama; ia merupakan sebuah aktus dan ritual yang bersifat private dalam wilayah keagamaan. 

Sementara demokrasi adalah wilayah Negara; ia sebagai sistem yang digunakan dalam menyelenggarakan sebuah pemerintahan dan kekuasaan politik melalui berbagai tahapan dan mekanisme untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam berbagai manifestasi kerja-kerja politik kebangsaan dan kenegaraan. 

Namun, keduanya memiliki sisi-sisi tertentu yang menarik untuk diungkapkan. Setidaknya, puasa dan demokrasi adalah sama-sama sebuah "sistem" yang hadir untuk mencetak manusia sesuai dengan grand mission masing-masing.

Puasa adalah "sistem agama" (untuk tidak mengatakan sebagai "sistem langit" agar tidak terjadi gap yang tidak perlu) yang bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia muttaqin, manusia yang memiliki standar spiritualitas dan moralitas yang kuat sehingga bisa adaptif bahkan survival dengan berbagai tantangan dan dinamika kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun