"Apakah itu benar-benar terjadi?" Godaku.
"Itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Jadi kebenaran cerita itu tidak ada yang bisa membuktikannya."
Aku belum mengenalnya saat itu.
Baginya sudah tidak penting lagi apakah kisah asmaranya itu benar-benar terjadi atau tidak. Yang terpenting adalah ada cerita yang dapat dikenangnya di sebuah tempat bernama perpustakaan.
Sekarang, perpustakaan yang aku, dia dan warga kota sering kunjungi berada sekitar tujuh pertokoan dari Lapangan Merdeka yang sekarang sudah berganti nama dan wajah menjadi Taman Kurma ke arah Lubuk Tanjung. Ia lebih megah, lebih bersih, lebih rapi, dan lebih ramah kepada pembaca. Gedungnya berbentuk seperti buku yang terbuka. Pemandangan dari ruang bacanya adalah Bukit Sulap---ikon lain dari kota Lubuklinggau.
Di roof-top kami berjumpa untuk pertama kalinya. Dia datang sendirian kala itu dan aku pun demikian.
Sudah enam bulan berlalu dan hari ini aku memberanikan diri mengatakan padanya.
"Kelak, ceritakan padaku kisah lain tentang engkau dan perpustakaan. Misalnya saja tentang lelaki terakhir yang kau temui di sana."
Dan dia hanya tersenyum seraya menarik tanganku menuju altar.
Dan kupastikan dia juga melewatkan ekspresi wajahku saat itu.
Jadi, apakah kau terbayang dia akan menuliskan apa tentang perpustakaan?(*)