Perpustakaan itu juga berada tidak jauh dari pasar. Namun lebih dekat dengan Lapangan Merdeka dan Masjid Agung. Tidak ada lagi kesan tentang debu-debu lantainya, koleksinya sudah tertata rapi di rak-rak yang lumayan lebih banyak daripada perpustakaan yang sebelumnya ditambah lagi beberapa komputer berinternet gratis. Yah, ia lebih ramah kepada pembaca.
Saat itu dia adalah mahasiswa di salah satu sekolah tinggi.
Saat pertama kali berkunjung ke perpustakaan yang satu ini, dia tiba-tiba saja mengingat perpustakaan yang dia kunjungi semasa sekolah menengah yang berada kira-kira tiga menit seperjalanan kaki dari tempat itu. Tentu saja, perpustakaan itu sudah tidak berdiri di sana. Ia sudah menjadi pertokoan yang entah sejak kapan. Dan tidak pula jelas apakah perpustakaan itu dan yang ini adalah perpustakaan yang sama namun dengan perbedaan usia.
Dia biarkan saja pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu mengendap di pikiran. Tidak semua pertanyaan harus ada dan diupayakan jawabannya, pikirnya.
Karena aku ingin tahu dan harus dia lunasi rasa ingin tahuku ini. Maka dia mau tidak mau menceritakan padaku tentang bagaimana dia menghabiskan empat tahun masa kuliahnya dengan perpustakaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengenangnya.
Semasa hidupnya, ia hanya pernah pacaran tiga kali. Bersama tiga orang itu dia mengakui bahwa tidak pernah ada momen jumpa di perpustakan. Namun jika orang lain bertanya tentang kisah asmaranya, entah kenapa dia selalu ingin mengatakan kepada mereka bahwa dia jatuh cinta kepada seorang pria di perpustakaan. Bahwa dia pernah mengagumi pria itu diam-diam dari celah-celah rak buku dan berupaya membuat kesan pertemuan yang tidak disengaja.
Baginya kisah asmara yang ada kaitannya dengan perpustakaan adalah yang terbaik---terdengar sangat dramatis, keren dan terkesan intelek. Lebih dari itu dia selalu menginginkan seseorang yang mencintai buku-buku seperti bagaimana ia mencintai hal yang sama.
Dia ceritakan bahwa dia pernah menghitung secara cermat jadwal kunjungan pria itu, yakni pada hari rabu. Dan pada setiap hari rabu yang sangat dinanti-nantinya itu dia selalu bergegas melajukan motornya hanya demi berjumpa (secara tidak sengaja) barang dua sampai tiga menit di pintu masuk perpustakaan.
Pernah suatu hari ia menunggu seharian di perpustakaan dan harus menelan ludah bahwa nyatanya pria itu tidak lagi datang di hari rabu. Jika sudah begini, ia memberanikan dirinya untuk mengirimkan sebuah pesan singkat yang terkadang hanya berisikan satu kata.
"Hi..."
Atau pesan yang berisi keterangan waktu.