Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia dan Perpustakaan-perpustakaan di Kotanya

10 September 2017   21:08 Diperbarui: 10 September 2017   23:24 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari dia bercerita bahwa dia diminta menuliskan sesuatu tentang perpustakaan.

Katanya, jika dia harus menulis sesuatu mengenai perpustakaan, maka tulisannya tidaklah hanya berupa selembar dua lembar artikel yang bercerita tentang seberapa banyak koleksi bacaan yang dipunyainya, seberapa kencang koneksi internetnya, seberapa nyaman tempat nongkrongnya atau seberapa segar tanaman hidroponiknya.

Lalu dia menjelaskan makna perpustakaan baginya adalah... ah, bagaimana menyebutnya ya...

***

Bayangkan saja dia masih ingat bahwa kartu perpustakaan yang dia punyai pertama kali berwarna oranye berbahan kertas kambing. Dia mengenal perpustakaan itu dari teman sekelasnya yang sudah lebih dahulu berkunjung. Temannya itu berbaik hati menemaninya mendaftarkan diri menjadi anggota.

Kemudian dia rutin meminjam buku-buku sekali seminggu yang seringnya pergi sendirian berjalan kaki sepulang sekolah pukul setengah dua sejauh kira-kira lima kilometer. Perpustakaan kota yang dia kunjungi berada tidak jauh dari pasar. Jika terus berjalan lagi dia bisa menemukan Lapangan Merdeka yang tidak jauh darinya ada sebuah masjid yang dinamai Masjid Agung---salah satu bangunan yang menjadi ikon kota.

Buku-buku yang dia pinjam tidak semuanya dia ingat, namun sedikit ingatan tentangnya adalah tentang buku-buku manajemen. Waktu itu ayahnya pernah berkata bahwa ia menyukai segala sesuatu tentang 'Manajemen'. Demi menyenangkan hati ayahnya itu dia meminjam empat buku yang kesemuanya berjudul demikian.

Sepulangnya dari perpustakaan, dia melambaikan empat buku tersebut kepada ayahnya persis bagai melambaikan raport yang di dalamnya terselip sertifikat perolehan ranking kelas di tangan kiri dan bingkisan di tangan kanan setiap kali akhir semester sekolah. Dan ayahnya menerimanya. Ia menerimanya saja.

Satu-satunya fakta penting yang baru-baru ini disadarinya telah dia lewatkan adalah bagaimana ekspresi ayahnya waktu itu. Entah apakah ia senang ataupun tidak atau barangkali sedang menyesal sudah terlanjur mengatakan menyukai sesuatu yang disebut sebagai 'Manajemen', dia tidak tahu. Dia hanya fokus dengan dirinya saja. Namun dia ingat ayahnya membaca buku-buku itu di waktu-waktu luangnya.

Seminggu kemudian seingatnya, dia menanyakan kepada ayahnya apakah dia menyelesaikan bacaannya. Ayahnya bilang tidak. Dia pikir wajar saja. Keempat buku yang dia pinjamkan dengan menggunakan kartu perpustakaannya itu tidaklah setipis komik Petruk.

Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi mengenai perpustakaan yang satu ini selain debu-debu lantainya, koleksi bukunya yang masih minimalis dan pustakawannya yang pelit sekali dengan senyum. Sampai suatu hari seorang teman mengenalkannya dengan perpustakaan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun