Mohon tunggu...
herman effendi
herman effendi Mohon Tunggu... -

lahir di Bukittinggi, merantau dan sekolah ke Yogyakarta, kini bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lima Kesalahan Besar Pesaing Foke

9 Juli 2012   12:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Enam cagub-cawagub yang akan bersaing dalam Pilkada Rabu besok (11/07) semuanya adalah orang-orang hebat. Punya track record di jalur mereka masing-masing. Siapa yang tidak kenal Jokowi, wali kota terpandang dari Solo. Hidayat Nurwahid, mantan Ketua MPR dan sukses memimpin PKS. Faisal Basri, ekonom keanamaan yang tiada letih menyuarakan keadilan kebijakan. Begitu juga Alex Noerdin, dan Hendardji, semuanya telah berhasil meniti karir dengan baik.

Namun entah kenapa, lima sosok itu tidak berhasil merontokkan kredibilitas Fokesebagai incumbent. Padalah media massa, baik cetak, on line, media sosial dan televisi hampir sepenuhnya mendukung mereka. Lihat saja misalnya, pemberitaan mengenai Jokowi dan Alex yang hampir saban hari menghiasi berbagai media. Bahkan ada yang menyebutkan, saat ini Jokowi sudah menjadi media darling.

Dalam pengamatan saya, setidaknya ada lima kesalahan besar yang dilakukan oleh pesaing Foke itu. Dengan posisi yang selama ini tidak terlalu disukai media, Foke sebetulnya bukanlah lawan yang terlalu berat. Seandainya pesaing tidak melakukan kesalahan besar, mampu menawarkan ide-ide segar, bisa jadi posisi Foke saat ini sudah terjepit.

Apakah kesalahan besar pesaing itu?

1.Kesalahan Pertama, sebagian besar pesaing Foke tidak mampu menyalamiproblematika di Jakarta dengan baik. Ini terlihat dari pesan-pesan yang disampaikan melalui media, tidak ada satupun yang merupakan ide segar. Bahkan terkesan, pesaing telah teperangkap oleh opini dan kesan ketidakpuasan segilintir orang terhadap Foke yang selama ini diangkat oleh media.

Buktinya, begitu sering pesaing melakukan kesalahan dalam pernyataannya, terutama Jokowi-Ahok. Jokowi misalnya, mengatakan Pemprov tidak berperan dalam KBT, padahal fakta menunjukkan DKI Jakarta menanggung 52% beban pembangunan KBT. Ini menunjukkan bahwa Jokowi atau orang-orang sekitarnya tidak mempelajari data-data Jakarta dengan baik. Akibatnya tudingan itu langsung bisa dimentahkan pihak Foke.

Kemudian apa karena terlalu bernafsu, Ahok mengatakan ayat konstitusi lebih penting dari ayat suci. Ini menunjukkanAhok sangat tidak paham kondisi demografi Jakarta, kok berani-beraninya menantang arus kehidupan beragama yang semakin berkembang di Jakarta, baik Islam, Kristen, Budha atau agama lainnya.

Begitu juga ketika Ahok mengatakan bahwa seharusnya pendidikan gratis di Jakarta sampai pada perguruan tinggi atau sampai kuliah. Apa Ahok tidak mengerti, bahwa menurut undang-undang tanggung jawab Pemprov itu hanya sampai SLTA. Untuk perguruan tinggi itu urusan Kementerian Pendidikan atau pemerintah pusat.

2.Kesalahan kedua,pesaing tampaknya terlalu terbuai oleh sanjungan media. Akibatnya mereka lupa menyiapkan strategi untuk bersaing. Sasaran mereka hanya sebatas “YO tembak” Foke. Bayangkan lima sosok terkenal itu, nada kampanyenya nyaris sama semua. Andalan janji kampanye mereka hanyalah sekolah gratis, kesehatan gratis, pengusuran PKL.

Akibatnya, masyarakat tidak bisa membedakan ide-ide mereka. Masyarakat bingung sendiri maupilih siapa di antara ke lima pesaing Foke itu. Apa yang dijanjikan Jokowi tidak beda dengan Alex, begitu juga Hendardji atau Hidayat. Yang agak lain kayak Faisal, tapi kita tahu back upnya kurang.

3.Terkait dengan kesalahan kedua, kesalahan ketiga adalah pesaing tidak sadar bahwa mereka sebetulnya saling berkompetisi sesama mereka. Hanya Alex yang sedikit menyadari hal itu dengan mengubah tema kampanye dari 3 Tahun Bisa, menjadi Membangun Bandar Jakarta. Tapi waktu yang tersedia sudah sedikit, sehingga orang juga sulit menilai serealistis apa janji Alex itu.

4.Kesalahan Keempat, pesaing tidak mau melihat sisi positif dari kinerja Foke, dengan demikian secara otomatis mereka menutup mata untuk mengetengahkan persoalan kota ini secara obyektif. Yang terjadi, pesaing cenderung menyederhanakan persoalan.

Akibatnya, masyarakat tidak bisa mengetahui secara pasti apa sesungguhnya persoalan obyektif yang dihadapi Jakarta dan bagaimana pesaing itu akan mengatasinya.

Pada saat bersamaan, serangan yang datang bertubi-tubi melalui media massa memberikan peluang bagi Foke untuk punya hak jawab dan ia menjawab dengan baik. Mengetengah persoalan Jakarta secara lebih realistis. Buktinya, baik disadari atau tidak disadari oleh media atau pesaing, banyak keberhasilannya yang terungkap saat mengkonfirmasi tudingan kepadanya.

Dari berita itu, banyak masyarakat menjadi tahu bahwa Foke tidaklah seperti yang dilukiskan oleh pesaingnya. Banyak yang sudah Ia capai selama lima tahun ini.

Mungkin tidak terlalu disadari, kenapa Foke berani tidak terjun langsung berkampanye. Jika pada awalnya Ia akan berencana mengajukan cuti selama 4 hari untuk berkampanye, menurut media, akhirnya ia hanya mengambil cuti 2 hari saja yaitu saat penyampaian visi misi di rapat Paripurna DPRD dan kampanye terbuka.

Kenapa? Menurut saya, barangkali Foke yakin sekali, gaya kampanye pesaing sangat lemah, dan ia tidak mau terjebak dalam suasana janji-janji yang tidak realistis yang dikembangkan lawan-lawan.

5.Kesalahan Kelima, pesaing terlalu mengabaikan kompetensi Foke. Padahal, menurut hasil survei dan pengamatan surat kabar terpandang Harian Kompas bersama tim pakar psikologi UI, dalam derajat tertentu Foke memiliki semua kompetensi kepemimpinan transformasional yang tinggi untuk semua bidang yang dibutuhkan untuk memenahi Jakarta. Kekurangan Foke selama ini, menurut laporan itu,realisasi visinya kurang terpublikasi sehingga kurang menginspirasi warga (Kompas, Senin, 25/06).

Sementara itu calon lain, seperti Jokowi yang digadang-gadang menjadi lawan berat Foke, gaya kemimpinan kurang otoritatif, cenderung mementingkan konsensus sehingga sulit bertindak cepat dalam saat genting. (Kompas, Rabu, 27/08).

Jokowi juga dinilai kurang mampu memberikan rangsangan intelektual kepada bawahannya, berbeda dengan Foke yang mempunyai keunggulan untuk hal ini.

Sesuai dengan kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara, gubernur DKI Jakarta juga dituntut untuk mempunyai kepekaan global, mempunyai pengalaman budaya dan negara lain, membuat atmosfir yang membuat orang lain merasa diterima dan diundang.

Dalam hal ini, menurut pengamatan Kompas dan tim pakar UI, Jokowi mempunyai kekurangan karena pembawaan dan gaya bicaranya terlalu sederhana, tidak meyakinkan kalangan elite dan dunia interasional.

Foke sekali lagi unggul dalam hal ini, karena pengetahuannya dan pengalamannya yang luas. Menurut artikel itu, Foke mampu melibatkan pihak dari negara lain untuk terlibat penyelesaian Jakarta.

Foke dikenal mempunyai hubungan kerja yang erat dengan berbagai lembaga internasional, termasuk dengan Bank Dunia. Secara pribadi, dia dikenal baik oleh pejabat Bank Dunia, termasuk Robert Zoelick yang baru saja menghabiskan masa jabatannya di lembaga ini.

Selamat memilih warga Jakarta.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun