Mohon tunggu...
Hotpangidoan Panjaitan
Hotpangidoan Panjaitan Mohon Tunggu... Pak Edo

Saya penulis lepas pecinta tulisan umum, sastra, adat, sosial dan dan budaya. \r\n\r\n"Satu Huruf Bermakna, Sebaris Kata Bernyawa, Sebait kata bercerita, Sesederhana Tulisan Berharga" hp-2011 \r\n\r\nHORAS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Semarga: Kisah Tohom dan Tiansa

4 Mei 2025   19:18 Diperbarui: 5 Mei 2025   00:08 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: foto abstrak hotpangidoan

Di perkampungan lereng sunyi Toba Holbung, tumbuh dua anak manusia yang dijalin oleh takdir dan cinta: Tohom, seorang pemuda pendiam dan cerdas, dan Tiansa, gadis ceria yang dikenal dengan suara tawanya yang khas. Mereka berasal dari satu marga, salah satu marga tua di wilayah Batak Toba. Di mata adat, hubungan mereka adalah pantangan yang mutlak: kawin semarga berarti mengawini saudara sendiri, melanggar hukum adat, dan mencoreng kehormatan leluhur.

Sejak masih sangat kecil, Tohom dan Tiansa sering bermain bersama di ladang, di tepi Danau Toba, mandi bersama, mencari ikan dan bercengkrama sambil mengangon ternak di bawah naungan hutan pinus Toba Holbung. Setelah SMP Benih cinta itu tumbuh diam-diam. 

Sedari kecil mereka sering mengintip kawula muda berpacaran dan berasyik-masyuk di tepi danau dibawah hutan pinus, kerap ada yang bermesraan takpandang tempat, menjadi contoh buruk bagi anak-anak yang rentan meniru tingkah orang dewasa. Ini terjadi dengan Tohom dan Tiansa, mereka larut, dikiranya itu main-main, melainkan hal yang pantang dilakukan pada umur belia, apalagi mereka semarga.
Ada yang aneh di tanah Batak, Pelanggaran etika seperti ini seperti tak terbendung lagi oleh garis adat. Takada lagi tabu, takada lagi tempat sakral dan keramat. 

Waktu berjalan lambat. Sampai juga ketika Tiansa melanjutkan kuliah ke Medan, dan Tohom menjadi guru honorer SD di kampung, cinta mereka justru semakin kuat dan dirawat. Surat-surat, pesan rahasia, dan pertemuan singkat saat liburan menjadi pelipur lara, salah pergaulan yang berujung petaka.

Pada suatu malam pesta adat, di tengah irama gondang sabangunan dan suara sorak sukacita. Mereka berlari ke hutan pinus di tepi Danau Toba, mereka berjanji untuk tidak berpisah. Namun janji itu adalah awal dari nestapa. Tiansa hamil. Ketika usia kandungan memasuki lima bulan, rahasia itu terbongkar. Santer.

Amarah meledak. Orang tua Tiansa terpukul, terutama ayahnya yang adalah kepala desa. Para tetua di huta yang menjunjung tinggi adat Batak menyatakan bahwa mereka telah melanggar garis yang paling suci dalam adat: marsibual, hubungan darah satu marga. Na tongka, na so adat na so uhum.

Tiansa kemudian diungsikan keluarganya ke Yogyakarta, ke rumah bapaudanya, seorang pensiunan dosen yang penuh wibawa. Di tanah perantauan itu, Tiansa melahirkan seorang bayi laki-laki dalam kondisi cacat: bibir sumbing, punggung bengkok. Sang Bapauda gusar, sambil mengusap kepala bayi itu, berkata lirih, "Ini bukan sekadar cacat, ini teguran dari roh para ompung kita."

Sementara itu, Tohom dipermalukan. Babak belur wajahnya. Orang-orang menyemut di depan rumahnya. Ia diusir dari rumah orang tuanya, tak boleh datang ke pesta adat, tak lagi dianggap bagian dari komunitas, sesiapa yang berbicara dengannya juga bisa dihukum, "Bali". Dipaduru.

 Ia lalu membangun gubuk di ladang, hidup menyepi, menolak untuk melamar perempuan yang disodorkan oleh Ibunya. Diam-diam Ibunya mengunjunginya pada sore hari ketika matahari mau tenggelam. Airmatanya selalu berurai.  Namun, Tohom tetap setia pada cintanya yang keliru. Pikirannya sudah berubah, berantakan. 

Ia ingin sekali mencoba menemui keluarga Tiansa, ingin bertanggung jawab. Tapi yang ia dapatkan hanyalah cacian, ludah di mukanya, dan seluruh jalannya telah buntu. Kesadaran diri sepertinya tidak lagi menjalari tubuhnya. Ia pulang gontai ke gubuknya menjelang malam tiba.
Entah darimana bunyi ende-ende sarune berpadu dengan gondang sabangunan yang menyayat malam: ini pertanda dia telah melanggar patik ni Ompunta raja, dikeluarkan dari lingkaran adat. Menerobos batas adat leluhur .

Tiansa, yang terus berjuang membesarkan anaknya sendirian di Jogja, akhirnya dinikahkan dengan pria Jawa. Tapi rahimnya telah rusak akibat persalinan pertama yang penuh trauma. Ia tak bisa lagi mengandung. Suaminya mulai menjauh dan benar-benar pergi. Hidup Tiansa kini kosong. Ia kesepian. Ia hanya merawat anaknya yang tak lancar bicara, tak bisa berjalan tegak, dan setiap malam memanggil-manggil "Ak..mong... ak.mong.. Ak.mong." ke arah jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun