Tohom, di kampung, makin kurus. Tinggal kulit pembalut tulang. Suatu hari, tubuhnya ditemukan meringkuk di bawah pohon beringin di tepi danau. Ia sudah tak bernyawa, memeluk bingkai foto kecil Tiansa dan anak mereka. Ulos tua melilit tubuhnya, satu-satunya benda peninggalan yang diserahkan oleh ibunya. Ia gila sebelum mati.
Kabar kematiannya tiba juga di Jogja. Tiansa menangis sepanjang malam. Merana dan meratapi hidupnya. Penyesalan tiada akhir menghinggapi pikirannya. Tak lama setelah itu, iapun jatuh sakit. Penyakitnya tak bisa dijelaskan. Tubuhnya meranggas seperti pohon yang kehilangan akar dan air. Anaknya hanya bisa menatap kosong, memeluk tubuh ibunya yang semakin dingin.
Setahun kemudian, Tiansa pun meninggal dunia. Ia dikuburkan di pemakaman umum, hanya ditemani suster panti dan seorang tetangga. Anaknya menyusul takberapa lama, meninggal dalam pelukan suster, dengan suara terakhirnya berbisik: "Ak..ong.. Ak...onnng...", satu kosa kata yang mampu direkamnya, yang selalu diajarkan oleh Ibunya Tiansa saat nelangsa memikirkan Tohom yang telah jauh terasing membawa cintanya.
Kisah Tohom dan Tiansa jadi pelajaran pahit. Bagi sebagian orang, kisah mereka adalah bukti bahwa cinta bisa membunuh jika menabrak pagar adat. Tapi ada pula yang melihat mereka sebagai korban dari kerasnya aturan yang tak memberi ruang bagi hati dan cinta. Namun ini adalah garis yang telah ditorehkan leluhur dengan segala konsekuensinya yang telah disumpahkan dan seharusnya takboleh dilanggar.
Garis adat lainnya, ada satu hal yang semua orang Batak juga harus tahu. Di dalam silsilah lama yang disimpan di dalam hati orang Batak, tertoreh bahwa marga juga memiliki aturan Padan, Parpadanan: ikatan yang lebih kuat dan dalam lebih dari semarga. Padan adalah hubungan keturunan lintas marga yang berasal dari nenek moyang. Meski marganya berbeda, jika leluhurnya memiliki perjanjian, mereka tetap dianggap satu darah seperti ikatan yang lebih bertuah dari jalinan marga.
Jadi sebenarnya, bukan hanya yang semarga, juga berpadan. Pelanggaran yang dilarang keras. Leluhur bukan hanya menangis, mungkin menjerit dari dalam tanah jika hal ini terjadi. Itulah sebabnya anak-anak bisa cacat, cinta bisa berujung berujung maut, dan jalinan keluarga juga dapat hancur.
Kini, di malam-malam sepi di Toba Holbung, orang tua adat sering memperingatkan:
“Jangan hanya melihat marga, lihat juga padan. Karena cinta yang buta bisa membakar seluruh silsilah dan partuturan.”
Dan jika kau berdiri di tepi danau, saat bulan penuh, dan angin bertiup dari arah barat, kau mungkin akan mendengar suara gondang sabangunan samar-samar, dan di baliknya, bisikan lirih seorang anak kecil yang tak sempat mengenal ayahnya.
“Amoooong…amooooong....amooooooooong”.
Di perkampungan lereng sunyi Toba Holbung, tumbuh dua anak manusia yang dijalin oleh takdir dan cinta: Tohom, seorang pemuda pendiam dan cerdas, dan Tiansa, gadis ceria yang dikenal dengan suara tawanya yang khas. Mereka berasal dari satu marga, salah satu marga tua di wilayah Batak Toba. Di mata adat, hubungan mereka adalah pantangan yang mutlak: kawin semarga berarti mengawini saudara sendiri, melanggar hukum adat, dan mencoreng kehormatan leluhur.