"Ayo, anak-anak. Buku gambarnya lekas dikumpul ke depan ya. Ini sudah siang. Waktu untuk menggambar sudah habis. Nanti sesudah Ibu nilai, kalian boleh pulang."
Seusai menutup buku gambarnya, dengan langkah ragu-ragu dan agak diseret-seret, Marsih maju ke depan kelas. Wajah cemberutnya tampak sekali, membuat Bu Guru Marni bertanya-tanya, "Kenapa kamu, Marsih?"
"Tidak apa-apa, Bu," jawab Marsih tertunduk lesu. Ia lantas kembali duduk ke tempat duduknya.
Bu Guru Marni membuka satu demi satu gambar anak-anak itu. Senyumnya mengembang dan terus mengembang, melihat betapa hebatnya ingatan anak-anak itu yang mampu merekam dan menggambarkan secara cermat keindahan desa-desa mereka. Dengan begitu mudah, nilai 80, 90, bahkan 100 tersemat pada setiap gambar-gambar indah itu. Mendadak senyum Bu Guru Marni menciut, menatap gambar terakhir yang ada pada bagian bawah tumpukan.
Tampaklah tanah-tanah cokelat gersang penuh retak-retakan, hampir tak terawat bahkan tak terjamah. Sungai irigasi di sekitar begitu kering sampai-sampai dasar pasirnya terlihat. Tak ada petani sedang mengayunkan pacul. Sinar matahari garang membakar permukaan tanah. Ilalang kuning tumbuh lebat memenuhi tepi-tepi petakan tanah-tanah gersang.
"Kenapa sawah di desamu sangat menyedihkan?" tanya Bu Guru Marni dengan mata terbelalak sesaat setelah Marsih dipanggil ke depan. Tampak di buku gambar Marsih, nilai 50 tersematkan. Marsih menghela napas. Agaknya ia sedih mendapat nilai jelek. Tapi, memang begitulah kondisi sawah di desanya. Mendadak berubah jelek, seperti tak ada lagi yang berminat mengurusnya.
"Maaf, Bu Guru, hanya itu yang bisa saya gambar."
Bu Guru Marni menyerahkan buku gambar itu ke tangan Marsih. Marsih menggenggamnya dengan ingatan yang masih lesu pun tak bergairah, melihat sawah-sawah di desanya beberapa waktu terakhir ini.
Sawah-sawah yang tak terurus dan berantakan memang jadi masalah baru di desa Marsih. Ini terjadi belum lama. Tak ada lagi petani dan ibu petani bersemangat untuk menanam padi.Â
Penghasilan mereka yang tak seberapa sungguh terasa begitu payah, ketika sekelompok petani menyadari ada seorang ibu petani yang bisa menghasilkan banyak uang hanya dengan bermain media sosial.Â
Video yang sedang viral memperlihatkan Ibu itu -- lebih tepat disebut nenek lantaran sudah tua -- hanya mandi-mandi lumpur, tapi mendapat saweran uang dari penonton dengan jumlah yang begitu fantastis. Nenek itu tak perlu repot-repot menebar benih padi, menyiangi tanaman, apalagi duduk berjam-jam di dangau sawah untuk mengusir hama burung dan wereng. Para petani ketagihan melihat praktisnya mendapatkan uang. Tak ada lagi yang mau capek-capek ke sawah.