Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malaikat Penjaga Anak

13 Januari 2023   19:44 Diperbarui: 13 Januari 2023   23:26 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu kecil, aku selalu heran, mengapa orangtua ketika anaknya lahir, terus memberi nama yang bagus-bagus? Lihatlah nama beberapa temanku di buku presensi sekolah dasar: Harapan Jaya, Sukses Selalu, Cantik Jelita, tidak lupa Tampan Pemberani. Aku tidak pernah secara langsung menanyakan ke para orangtua. Teman-temanku pun tak bisa menjawab karena mereka hanya tinggal menerima nama-nama itu. Sebetulnya, pertanyaan tadi sudah jadi kenangan, manakala Kakek berkisah lantaran tak tega melihat aku lebih sering mengurung diri di kamar.

Konon, pernah timbul kepercayaan bahwa ketika janin dalam rahim sudah berusia cukup, tak berapa lama sesosok makhluk tak kasatmata turun dari kayangan. Tiga petak ubin di samping ibu yang berbaring hendak melahirkan, harus dikosongkan. Makhluk itu akan berdiri di situ, menundukkan kepala lantas berbisik sesuatu entah apa ke telinga ibu, yang kemudian warga desa tahu dari nama anaknya. 

"Apa yang kamu dengar?" tanya seorang tetua desa setelah melangkah beberapa kaki. Sebelumnya, ia berdiri tak jauh dari sang ibu. Pandangannya bergeming, menatap kilauan cahaya putih bersinar dengan kedua sayap dikepak perlahan.

"Selamat dunia akhirat."

Tetua bertongkat itu senyum, menangkupkan kedua tangan di depan dada, seraya matanya berkedip berkali-kali, seperti merasa kesilauan. Yang dilihat tetua itu tak pernah bisa dilihat warga lain, termasuk kerabat keluarga yang menemani proses kelahiran. Tapi, lantaran ia paling dituakan, para warga percaya omongannya.

"Kalian harus bersyukur. Setiap hidup yang baru datang, ada penjaganya. Tengoklah, para ibu menamai bayinya dengan doa dan harapan. Itu karena malaikat pembawa kebaikan berbisik di telinga mereka."

Benar saja, lambat laun, anak itu tumbuh kian besar. Berperawakan tegap, berparas ganteng, pun cakap bertani sampai-sampai punya banyak lahan. Hidupnya seperti tak ada rintangan dan keberhasilan mempunyai sepuluh rumah di desa, membuatnya dipandang orang-orang. Ia juga suka bederma, memberi makan anak yatim piatu. Para warga jadi heran dengan ucapan tetua dua puluh tahun lalu. 

Apakah malaikat itu terus ada menjaga anak itu dari kesialan? Apa benar, makna doa dalam nama adalah harapan yang akan jadi nyata? Apakah memberi nama anak tidak boleh sembarangan? Tapi mengapa, bisa terjadi hal-hal ini?

Sebagian warga memilih masih percaya, sebagian lagi mulai ragu, sesaat setelah anak haram lahir. Siapapun tidak salah dengar. Namanya Anak Haram.

"Bu, gak salah kasih nama?"

"Masak jelek banget, Bu?"

Berselang sebulan sejak kelahiran Anak Haram, Nasib Sial keluar dari kandungan -- tentu dari ibu yang beda. Dua bulan kemudian, seorang bayi -- dari ibu yang lain lagi -- lahir lagi di kamar bidan desa. Badannya kurus kerempeng. Tak ada sehelai rambut barang tipis di kepala. Bibirnya mencong ke kiri. Seluruh kulit wajahnya dipenuhi bercak-bercak kuning kecil, menggumpal dan banyak, yang jika ditekan, keluar nanah. Bau sekali. Orang-orang bisa muntah.

"Walau jelek, janganlah Bu, dikasih nama itu," kata seorang ibu kepada ibu yang baru saja melahirkan dan menamai anaknya Buruk Rupa.

"Nama itu doa lho, Bu!"

"Ya mbok meski masa lalu kelam, masa tega sih, kasih nama anak kayak gitu?"

Dari mulut ke mulut, sudah tersebar kabar bahwa ibu si Anak Haram adalah seorang pelacur dari kota. Ibu dari Nasib Sial adalah seorang janda yang ditinggal suaminya. Untuk kabar ibu si Buruk Rupa, masih kabur informasi tentangnya, namun sangkaan para warga, keadaan bayi itu menurun dari tampang ibunya.

Ibu-ibu berkumpul di pendopo desa. Mereka terus bertanya-tanya, mengapa ada ibu menamai jelek anaknya? Lantaran kejadian sudah beruntun, mereka merasa perlu memutuskan sesuatu. Sebetulnya mereka tidak peduli benar dengan nama anak-anak itu, tapi sejak runutan kelahiran itu, sering terjadi hal-hal aneh di desa.

Tiga bapak mendadak terkapar meninggal di sawah saat hari masih berlalu sepenggal. Anak-anak yang bermain di sungai terkena penyakit gatal-gatal. Satu-satunya sumber mata air di desa memancarkan air rasa pahit.

"Apa karena nama-nama itu, desa kita kena kutuk?"

"Apa malaikat sudah tak mau turun dari kayangan?"

"Jangan-jangan yang datang iblis. Apa malaikat sekarang itu iblis yang menyamar? Tahu sendiri kan, karena ulah iblis, manusia dapat yang buruk-buruk."

"Sayang sekali ya, Eyang Di sudah meninggal."

"Bagaimana kalau kita pergi ke sana?"

Muncullah kesepakatan. Seorang ibu diutus pergi ke makam Eyang Di di pinggir desa. Suatu malam, ia sendirian datang sambil membawa tampah berisi seekor ayam cemani yang sudah disembelih. Ia duduk berjam-jam di sana, tepekur tepat di depan kuburan, berharap dapat wangsit penangkal kutuk desa. Terdengarlah pukul satu malam, sayup-sayup suara berat.

"Kamu tahu, dunia semakin jahat. Banyak iblis lagi turun ke dunia. Sampaikan ke warga desa, lekaslah buat selametan. Iblis itu takut dengan doa-doa. Malaikat akan datang lagi."

Sekali lagi, lantaran tetua itu sangat dihormati -- bahkan rohnya, ibu penerima wangsit tidak bertanya. Besoknya, ia cepat-cepat pergi ke rumah ibu-ibu lain. Satu per satu pintu diketok. Wangsit tersebar cepat. Banyak orang berdesakan di pasar. Semua warga membeli segala persiapan. Pendopo desa ramai. Mereka tahu, sebentar lagi ada seorang ibu hendak melahirkan.

"Jangan sampai terlambat!" kata ibu penerima wangsit, mengakhiri pengumuman.

Tampah besar disiapkan. Nasi yang sudah tanak dimasak bersama santan dan kunyit ditata rapi di atasnya, membentuk bulatan sempurna. Di atasnya disusun nasi yang sama berupa bulatan pula dengan ukuran lebih kecil. Terus lagi dibuat tingkatan seperti itu hingga paling atas berwujud kerucut. Warna kuning kerucut nasi tak tampak lantaran selembar daun pisang yang sudah dibentuk membungkusnya.

Di sekelilingnya -- hasil masakan ibu-ibu di pendopo, ada tempe goreng kering berbentuk kotak-kotak. Sayur kangkung, tauge dan kol -- yang sudah lebih dulu direbus -- berbalur bumbu kelapa kering hasil digongso. Sambel goreng hati dan ampela ayam. Lipatan-lipatan tebal telur dadar yang diiris tipis-tipis. Beberapa perkedel kentang. Potongan-potongan ayam goreng berukuran kecil. Karena banyak warga yang akan makan waktu selametan, susunan sajian makanan itu disesuaikan jumlahnya. Para warga benar-benar ingin bersyukur, semoga malaikat datang lagi, membawa berkah bagi desa lewat nama sang bayi.

Tak lama setelah bayi berlumur darah tampak, bidan yang sudah mendapat pesan segera menggendong bayi dalam selimut dan menjauhkan dari sang ibu. Sebagian warga berdatangan memenuhi kamar bidan. Pemuda-pemudi duduk di luar rumah di bawah tenda. Setampah sajian makanan ditaruh di atas meja kamar. Seorang bapak yang dituakan membaca doa. Beberapa ibu dan bapak lain berdiri, menyandarkan punggung di dinding sekeliling. Siang yang sedang mendung pun angin yang bertiup kencang tak terasa dalam kamar yang menghangat dengan lantunan ayat-ayat suci. Ibu yang baru saja melahirkan masih tergolek lemas.

Beberapa hari sejak selametan digelar, tak ada lagi ditemukan bapak-bapak meninggal misterius -- saya sebagai pengarang sebetulnya tak percaya hal ini, tapi saya menyadari ada hal-hal yang bisa diterima hanya dengan modal percaya. Kulit anak-anak yang mandi di sungai tetap bersih, tak muncul bintil-bintil merah. Sumur-sumur di desa mulai mengeluarkan air tawar.

Barangkali ada yang penasaran, apakah wangsit itu benar-benar manjur? Apakah malaikat penjaga anak datang kembali, lantas mengusir iblis yang sudah menyamar? Pun siapakah nama bayi keempat yang lahir di desa ini? 

Sialnya, aku tak punya nyali untuk keluar sekadar bertanya ke orang-orang. Aku terus mengurung diri dalam kamar. Wajahku makin hari makin buruk. Keriput cepat sekali datang, pun uban terus bertambah, padahal baru sepuluh tahun usiaku. Soal nanah-nanah itu, tak sampai hati kuceritakan. Yang pasti kudengar, masih dari cerita Kakek, acara selametan hampir serupa masih dilakukan sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun