"Bagaimana kalau kita pergi ke sana?"
Muncullah kesepakatan. Seorang ibu diutus pergi ke makam Eyang Di di pinggir desa. Suatu malam, ia sendirian datang sambil membawa tampah berisi seekor ayam cemani yang sudah disembelih. Ia duduk berjam-jam di sana, tepekur tepat di depan kuburan, berharap dapat wangsit penangkal kutuk desa. Terdengarlah pukul satu malam, sayup-sayup suara berat.
"Kamu tahu, dunia semakin jahat. Banyak iblis lagi turun ke dunia. Sampaikan ke warga desa, lekaslah buat selametan. Iblis itu takut dengan doa-doa. Malaikat akan datang lagi."
Sekali lagi, lantaran tetua itu sangat dihormati -- bahkan rohnya, ibu penerima wangsit tidak bertanya. Besoknya, ia cepat-cepat pergi ke rumah ibu-ibu lain. Satu per satu pintu diketok. Wangsit tersebar cepat. Banyak orang berdesakan di pasar. Semua warga membeli segala persiapan. Pendopo desa ramai. Mereka tahu, sebentar lagi ada seorang ibu hendak melahirkan.
"Jangan sampai terlambat!" kata ibu penerima wangsit, mengakhiri pengumuman.
Tampah besar disiapkan. Nasi yang sudah tanak dimasak bersama santan dan kunyit ditata rapi di atasnya, membentuk bulatan sempurna. Di atasnya disusun nasi yang sama berupa bulatan pula dengan ukuran lebih kecil. Terus lagi dibuat tingkatan seperti itu hingga paling atas berwujud kerucut. Warna kuning kerucut nasi tak tampak lantaran selembar daun pisang yang sudah dibentuk membungkusnya.
Di sekelilingnya -- hasil masakan ibu-ibu di pendopo, ada tempe goreng kering berbentuk kotak-kotak. Sayur kangkung, tauge dan kol -- yang sudah lebih dulu direbus -- berbalur bumbu kelapa kering hasil digongso. Sambel goreng hati dan ampela ayam. Lipatan-lipatan tebal telur dadar yang diiris tipis-tipis. Beberapa perkedel kentang. Potongan-potongan ayam goreng berukuran kecil. Karena banyak warga yang akan makan waktu selametan, susunan sajian makanan itu disesuaikan jumlahnya. Para warga benar-benar ingin bersyukur, semoga malaikat datang lagi, membawa berkah bagi desa lewat nama sang bayi.
Tak lama setelah bayi berlumur darah tampak, bidan yang sudah mendapat pesan segera menggendong bayi dalam selimut dan menjauhkan dari sang ibu. Sebagian warga berdatangan memenuhi kamar bidan. Pemuda-pemudi duduk di luar rumah di bawah tenda. Setampah sajian makanan ditaruh di atas meja kamar. Seorang bapak yang dituakan membaca doa. Beberapa ibu dan bapak lain berdiri, menyandarkan punggung di dinding sekeliling. Siang yang sedang mendung pun angin yang bertiup kencang tak terasa dalam kamar yang menghangat dengan lantunan ayat-ayat suci. Ibu yang baru saja melahirkan masih tergolek lemas.
Beberapa hari sejak selametan digelar, tak ada lagi ditemukan bapak-bapak meninggal misterius -- saya sebagai pengarang sebetulnya tak percaya hal ini, tapi saya menyadari ada hal-hal yang bisa diterima hanya dengan modal percaya. Kulit anak-anak yang mandi di sungai tetap bersih, tak muncul bintil-bintil merah. Sumur-sumur di desa mulai mengeluarkan air tawar.
Barangkali ada yang penasaran, apakah wangsit itu benar-benar manjur? Apakah malaikat penjaga anak datang kembali, lantas mengusir iblis yang sudah menyamar? Pun siapakah nama bayi keempat yang lahir di desa ini?Â
Sialnya, aku tak punya nyali untuk keluar sekadar bertanya ke orang-orang. Aku terus mengurung diri dalam kamar. Wajahku makin hari makin buruk. Keriput cepat sekali datang, pun uban terus bertambah, padahal baru sepuluh tahun usiaku. Soal nanah-nanah itu, tak sampai hati kuceritakan. Yang pasti kudengar, masih dari cerita Kakek, acara selametan hampir serupa masih dilakukan sampai sekarang.