Pada pemikirannya awal, Ogleng sempat membayangkan bahwa nanti, setelah rumah dijual, harganya laku tinggi. Ia akan dapat banyak uang. Utangnya tertutup semua. Ia bahkan bisa kembali lagi ke kota untuk bermain judi.
Motor warisan yang terparkir di garasi sudah habis. Sebelum pulang ke kampung, ia juga sudah menjual ponsel-ponselnya. Seluruh perabotan rumah sudah digotong pembeli. Kini, tinggal Ogleng bersama rumah megah itu. Bersama pula dengan sisa utang yang masih banyak.
Tidak hanya perkara rumah itu paling kecil dibanding rumah saudaranya yang membuat Ogleng risau. Omongan-omongan tetangga tentang rumahnya, yang terus saja dari hari ke hari semakin terdengar menyakitkan, membuatnya hanya bisa termenung bersama waktu, menanti pembeli yang tak kunjung datang.
"Pak Ogleng gak bisa minta ganti rumah?" cibir salah seorang tetangga bersama ketiga tetangga lain yang pada suatu hari bertamu ke rumahnya. Mereka berlima duduk di ruang tamu.
"Iya, Pak. Masak Pak Ogleng mau tinggal di rumah ini?" tambah tetangga satu lagi.
"Memangnya kenapa, Pak?" Ogleng bertanya dengan penuh ingin tahu. Ia memang sudah lama sekali meninggalkan kampung, merantau ke kota. Hal-hal yang baru didengarnya saat itu, sempat membuatnya tertegun sejenak.
"Rumah Bapak ini kan tusuk sate. Di ujung pertigaan. Mana ada orang yang tertarik beli?" kata tetangga lain yang entah dari mana sudah tahu niat Ogleng jual rumah.
"Bapak memang tidak tahu? Rumah tusuk sate itu buat sial. Kata orang, penghuninya bisa gampang sakit."
Ogleng masih mendengarkan. Keningnya terlihat mengerut, seperti berpikir keras. Entah, karena perkataan itu, entah pula karena utangnya yang mendesak untuk dilunasi.
"Bapak sudah pasang iklan?"
Ogleng mengangguk.