"Ada yang sudah menghubungi Bapak?"
Ogleng menggeleng.
"Tuh, kan! Benar saya bilang. Rumah tusuk sate itu bawa sial. Tidak ada orang mau beli!"
Rumah Ogleng memang besar, tetapi sayang, terletak di ujung pertigaan. Setiap mobil dan motor yang akan membelok ke kanan dan kiri pasti menyibakkan debu ke teras rumah. Sering kali terdengar klakson kencang berbunyi, membuat Ogleng sulit tidur. Para pengendara menebak-nebak, adakah kendaraan yang akan datang dari sisi tikungan.
Bukan hanya itu saja, hal yang seharusnya memang terjadi karena posisi rumah. Obrolan tetangga lebih lanjut soal penghuni rumah tusuk sate akan mudah dan sering bertengkar karena hal-hal tidak jelas bahkan remeh-temeh, membuat mata Ogleng jadi kosong, tanpa harapan.Â
Berita-berita negatif seputar rumah tusuk sate ternyata sudah berkembang sejak lama di kampung itu, sesudah Ogleng merantau. Hari ke hari, Ogleng hanya bisa duduk termenung di teras rumah. Tatapannya semakin kosong.Â
Sementara, satu-satunya ponselnya terus berbunyi. Beberapa nomor tidak dikenal muncul di layar. Ogleng tahu, itu para tukang kredit. Ogleng tahu, barangkali sebentar lagi mereka akan menemukannya di kampung ini.
"Kok kamu melamun terus?" suara lelaki sebayanya mendadak terdengar. Ogleng terkesiap. Ia menolehkan kepala. Ia melihat temannya datang. Teman yang ia temukan selama tinggal di kota.
"Klek, baru datang?" kata Ogleng.
"Ya, iyalah, baru datang. Saya itu bingung cari rumahmu. Apalagi, saya baru pertama kali ke sini. Untung, karena kata orang di sana, saya jadi tahu," jawab Toklek sambil menunjuk jauh ke arah jalan. Ada seseorang berdiri di sana.
"Memangnya dia ngomong apa?"