Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Siapa yang Akan Mati Berikutnya?

25 Oktober 2021   20:53 Diperbarui: 25 Oktober 2021   21:27 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi meninggal, sumber: grid.id via tribunnews.com

Desaku terbilang modern. Pemikiran orang-orangnya sudah maju. Debat antarwarga sekadar di warung bubur kacang hijau begitu bermutu. Tidak ada sesat pikir dan sumbu pendek. 

Namun, untuk satu hal ini, mereka tidak mau bersusah payah mencari logika atasnya. Mereka terima saja, sebagai kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang, yang tetap lestari sampai sekarang.

Jika kau mendengar ada seseorang meninggal, persiapkanlah dirimu beberapa saat setelahnya. Ingatlah apa yang telah kau lakukan pada mendiang. Kali-kali saja, bila kau tidak sempat meminta maaf karena telah berbuat jahat padanya, hidupmu akan usai sepertinya. Sering secara tiba-tiba.

Begitu kata ibu dan semua tetua yang kujumpai di desaku. Mereka serempak bercerita demikian, serempak pula mereka mengharuskanku untuk sekadar yakin saja, tanpa banyak bertanya.

Waktu kecil, mau percaya atau tidak, memang begitu adanya. Tidak ada yang tidak percaya bahwa orang yang meninggal pasti membawa teman, entah siapa itu, hanya yang meninggal yang tahu.

Seorang kakek yang sakit-sakitan tepat di belakang rumahku akhirnya meninggal bersama istrinya, sama-sama berbaring di atas tempat tidur. Kupikir, mereka berdua meninggal karena sama-sama sudah tua. Barangkali pula, si nenek tidak ingin ditinggal sendirian di dunia. Dari dulu memang kudengar dan semua warga tahu, mereka berdua mesra sekali, ke mana pun pergi.

Meskipun sudah tua, kakek itu masih kuat membonceng si nenek ke pasar. Setiap jalan pagi, mereka bergandengan tangan mengelilingi pelataran sekitar rumah. Para tetangga sering tersenyum. Beberapa terpukau dengan kesetiaan cinta mereka. Jarang-jarang, bisa awet tidak menikah lagi -- terutama para lelaki -- jika tua sudah menjelang.

Tepat setelah sehari kakek itu meninggal, belum sempat dikuburkan karena menunggu cucu-cucunya, sang nenek tergeletak begitu saja di sampingnya. Ibu-ibu yang mengunjungi rumah mereka sontak terkaget-kaget. Kegiatan layat otomatis diadakan lagi. Untung, tenda di depan rumah bekas acara perkabungan kakek belum dibereskan.

Para warga percaya, kakek mengajak nenek itu meninggal, karena tidak suka jika nanti ia tidak ada, nenek tiba-tiba saja menikah lagi dengan orang lain. Ternyata, selama ini dalam kemesraan mereka, kakek memendam curiga. 

Apakah cinta bisa tetap terjaga utuh ketika salah satu sudah meninggal? Bukankah seseorang pasti butuh teman hidup sekadar untuk bercerita? Jangan-jangan nanti ada pengganti. Kakek tidak ingin, nenek pindah ke lain hati. Begitulah obrolan dari tetanggaku suatu saat.

Lain hal dengan seorang bapak yang kudengar meninggal karena stres dan banyak pikiran. Ia ditemukan tewas di kamar mandi, entah karena tergelincir atau sengaja memukul-mukulkan kepalanya ke dinding. Yang pasti, ada bercak-bercak merah di dinding. Baunya amis.

Beberapa tetangga di dekatku tahu, bapak itu sudah lama tidak keluar rumah. Entah mendapat obrolan dari mana (di desaku, semua paling cepat tahu keadaan tetangga, entah benar entah gosip), bapak itu punya utang yang terbilang sangat besar. Bodohnya -- ini bukan penilaianku, tetapi tetanggaku yang menganggapnya -- itu semua digunakan untuk bermain judi.

Barangkali ia tidak pernah menang judi, sehingga utangnya diketahui menjadi terus bertumpuk dan bertumpuk. Sudah banyak orang mendatangi rumahnya. Ada preman berbadan kekar. Ada laki-laki membawa parang. Ada pula yang berusaha menyantetnya.

Sudah tentu, mereka yang mengutangi yang berbuat. Awalnya kami tidak tahu siapa. Tetapi, setelah bapak itu meninggal, kami baru tahu, ternyata saudagar minyak yang kaya raya, yang rumahnya paling besar dan punya kolam renang di desa kami, yang memberikan utang padanya.

Saudagar itu mati begitu saja di dalam mobil. Dua hari selepas kematian si bapak. Akhirnya, dikemaslah suatu cerita, bahwa setiap orang yang memberi utang haruslah ikhlas, atau jika tidak, tidak ada yang bertanggung jawab jika suatu saat ia diajak meninggal oleh si peminta utang.

Kau pasti tertawa dan menganggap ceritaku ini hanyalah bualan. Aku wajar menerimanya. Sudah banyak orang lain yang sudah mendengar ceritaku, bahkan langsung dari bibirku sendiri, hanya menyeringai dan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. 

Kok bisa? Ah, paling hanya kebetulan? Mana buktinya? Semua rangkaian peristiwa kematian yang terjadi berturut-turut dan berdekatan dicecar logikanya, diragukan kebenarannya, dianggap hanya sebagai dongeng semata.

Ya, wajarlah, karena mereka bukan penduduk desa. Kau pun demikian. Kurasa kau juga tidak akan pernah berminat untuk mendaftarkan diri sebagai warga di desaku.

Kali-kali saja memang, ada hal-hal di dunia yang sulit dicerna dengan logika. Manusia hanya tinggal menerima, percaya atau tidak. Orang-orang berpikir susah payah pun, terasa sia-sia.

Apalagi, usut punya usut, kepercayaan itu sudah dipertegas oleh salah satu orang pintar di desaku. Memang benar adanya. Berdasarkan pengakuannya yang bisa melihat alam gaib dalam mimpi, arwah-arwah mendiang yang baru saja meninggal diberi kesempatan oleh suatu sosok untuk memilih, siapa yang hendak diajak meninggal.

Arwah itu berdiri di depan sebuah pintu. Ada dua. Warna putih atau hitam. Di balik pintu putih, ada taman indah dan banyak orang bahagia di sana. Di balik pintu hitam, hanya merah membara dan penderitaan yang terdengar.

Setiap arwah yang meninggal diperbolehkan untuk berbuat sesuatu dan selalu terkabulkan oleh semesta, sebagai ucapan terima kasih atau pembalasan dendam yang tidak sempat terbalas.

Arwah itu boleh mengajak seseorang untuk masuk bersama-sama ke surga. Boleh pula menderita dan menangis terus-menerus, bersama-sama di neraka.

Apakah sosok terdekat yang diajak? Belum tentu. Yang bercakap dengannya terakhir kali juga bisa jadi. Oleh sebab itu, jangan heran, jika di desaku, ditemukan orang-orang selalu tampak loyal, hadir memenuhi setiap perayaan kematian, yang selalu saja menjadi istimewa.

Orang-orang berbondong-bondong datang ke keluarga yang meninggal, membawa ini dan itu, dengan maksud baik agar barangkali arwah mendiang tidak mengajak mereka meninggal.

Barangkali pula, jika diajak, setidaknya ketika menuju surga, bukan ke neraka. Ya, seperti yang biasa-biasa dipikirkan, tentulah orang-orang berbuat baik karena ingin bermimpi masuk ke surga.

Aku tidak tahu, barangkali ini catatan terakhirku yang kau baca. Kemarin, ibu baru saja meninggal. Sakit jantungnya kumat. Ketiga kakakku sudah duluan meninggal. Aku pergi memilih meninggalkan rumah karena tidak suka dengan perjodohan yang dipaksakan ibu.

Namaku sudah tercoreng buruk di desa. Semua sudah tahu, aku anak durhaka, karena tidak menuruti satu-satunya keinginan terakhir ibu, sebelum ia meninggal. Barangkali aku juga tidak mampu mengabaikan perasaan hatiku yang memang tidak sanggup mencintai perempuan yang dipilihkan ibu.

Hatiku sudah tertambat jauh-jauh sebelumnya pada teman SMA-ku dulu. Kami sepakat melarikan diri ke kota dan menikah di sana. Tanpa restu ibu. Aku sadar, ini salah. Aku sadar pula, ada alasan ibu untuk mengajakku entah ke alam mana, karena aku telah menyakiti hatinya. 

Semoga saja aku masih diberi umur panjang, sehingga kemudian masih dapat menceritakan lagi kisah-kisah unik dari desaku, yang barangkali kau tidak pernah temukan karena memang tidak ada di desa lain.

Semoga saja kepikunan ibu yang sudah dideritanya sejak lama semasa tua tiba-tiba kambuh, sehingga lupa masih ada aku anaknya yang masih hidup.

Saat kau membaca cerita ini, aku masih bertanya-tanya dalam hati. Siapa yang akan mati berikutnya?

...

Jakarta

25 Oktober 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun