Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Siapa yang Akan Mati Berikutnya?

25 Oktober 2021   20:53 Diperbarui: 25 Oktober 2021   21:27 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi meninggal, sumber: grid.id via tribunnews.com

Lain hal dengan seorang bapak yang kudengar meninggal karena stres dan banyak pikiran. Ia ditemukan tewas di kamar mandi, entah karena tergelincir atau sengaja memukul-mukulkan kepalanya ke dinding. Yang pasti, ada bercak-bercak merah di dinding. Baunya amis.

Beberapa tetangga di dekatku tahu, bapak itu sudah lama tidak keluar rumah. Entah mendapat obrolan dari mana (di desaku, semua paling cepat tahu keadaan tetangga, entah benar entah gosip), bapak itu punya utang yang terbilang sangat besar. Bodohnya -- ini bukan penilaianku, tetapi tetanggaku yang menganggapnya -- itu semua digunakan untuk bermain judi.

Barangkali ia tidak pernah menang judi, sehingga utangnya diketahui menjadi terus bertumpuk dan bertumpuk. Sudah banyak orang mendatangi rumahnya. Ada preman berbadan kekar. Ada laki-laki membawa parang. Ada pula yang berusaha menyantetnya.

Sudah tentu, mereka yang mengutangi yang berbuat. Awalnya kami tidak tahu siapa. Tetapi, setelah bapak itu meninggal, kami baru tahu, ternyata saudagar minyak yang kaya raya, yang rumahnya paling besar dan punya kolam renang di desa kami, yang memberikan utang padanya.

Saudagar itu mati begitu saja di dalam mobil. Dua hari selepas kematian si bapak. Akhirnya, dikemaslah suatu cerita, bahwa setiap orang yang memberi utang haruslah ikhlas, atau jika tidak, tidak ada yang bertanggung jawab jika suatu saat ia diajak meninggal oleh si peminta utang.

Kau pasti tertawa dan menganggap ceritaku ini hanyalah bualan. Aku wajar menerimanya. Sudah banyak orang lain yang sudah mendengar ceritaku, bahkan langsung dari bibirku sendiri, hanya menyeringai dan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. 

Kok bisa? Ah, paling hanya kebetulan? Mana buktinya? Semua rangkaian peristiwa kematian yang terjadi berturut-turut dan berdekatan dicecar logikanya, diragukan kebenarannya, dianggap hanya sebagai dongeng semata.

Ya, wajarlah, karena mereka bukan penduduk desa. Kau pun demikian. Kurasa kau juga tidak akan pernah berminat untuk mendaftarkan diri sebagai warga di desaku.

Kali-kali saja memang, ada hal-hal di dunia yang sulit dicerna dengan logika. Manusia hanya tinggal menerima, percaya atau tidak. Orang-orang berpikir susah payah pun, terasa sia-sia.

Apalagi, usut punya usut, kepercayaan itu sudah dipertegas oleh salah satu orang pintar di desaku. Memang benar adanya. Berdasarkan pengakuannya yang bisa melihat alam gaib dalam mimpi, arwah-arwah mendiang yang baru saja meninggal diberi kesempatan oleh suatu sosok untuk memilih, siapa yang hendak diajak meninggal.

Arwah itu berdiri di depan sebuah pintu. Ada dua. Warna putih atau hitam. Di balik pintu putih, ada taman indah dan banyak orang bahagia di sana. Di balik pintu hitam, hanya merah membara dan penderitaan yang terdengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun