Lebih baik pengarang tidak tiba-tiba muncul...
Jika tidak ingin muncul dalam cerpen, lebih baik benar-benar tidak muncul. Terkadang, saya masih menemukan di akhir cerita, menjelang penutupan, pengarang timbul sebagai penasihat untuk pembaca.
Ia akan menulis narasi yang mengajak pembaca merenung dan mengambil pesan moral guna diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Bagi saya, ini mengurangi keindahan cerita. Dari awal tidak pernah muncul, di akhir muncul dan tidak sebagai tokoh. Contohnya:
"Baiklah pembaca yang budiman, demikian cerita tentang Sarmin yang membenci ibunya. Saya pikir, kita sudah tahu mana yang baik, mana yang buruk. Semoga cerpen ini bermanfaat bagi Anda."
Sekiranya target pembaca adalah orang dewasa, kemungkinan besar mereka sudah paham mana yang perlu ditiru, mana yang harus ditinggalkan. Tidak perlu dijelaskan bahkan ditegaskan.
Jika pembaca adalah anak-anak, barangkali kalimat itu cukup disampaikan secara lisan oleh pencerita yang membaca cerpen, tanpa perlu ditulis si pengarang dalam ceritanya.Â
Anak-anak memang butuh penjelasan mendalam, jika pesan moral sedikit samar bahkan tersirat. Kebanyakan, pesan moral dalam cerpen anak tertulis jelas.
Tetapi, ada yang tiba-tiba masuk namun tidak mengganggu
Saya pernah baca sebuah cerpen di mana pengarang tiba-tiba masuk. Kemunculannya tidak mengganggu, malah memperkuat cerita. Ia memosisikan diri sebagai pembaca dan mengajak sesama pembaca menantikan akhir cerita.
Ia juga mengisyaratkan ada kejutan di akhir cerita sehingga perlu lanjut dibaca. Cara ini cukup unik dan saya terkesiap. Pintar sekali pengarangnya, membuat dirinya seolah-olah tidak tahu akhir cerita. Menambah misterius isi cerita. Ada pada cerpen "Alesia" karya Sungging Raga. Berikut petikannya:
... Sejujurnya, Alesia — dan saya sebagai penulis cerita ini — masih tak yakin apakah benar yang datang itu memang malaikat atau hanya tokoh dongeng yang salah diberi nama sebagai malaikat, tapi baiklah kita ikuti terus apa yang terjadi ...Â