Kukira ia ramah. Kupastikan pula ia baik hati. Siapalah orang yang rela membiarkan halamannya disesaki bocah-bocah bahkan orang-orang yang tidak dikenal, untuk duduk-duduk berteduh dan membuatnya seperti tempat bermain.
Pada kedatanganku yang kedua, ia masih kudapati menyiram dan memberi pupuk pada pohon itu. Padahal aku datang saat malam hari. Ia begitu rajin merawat pohon itu. Meskipun kupikir ukuran pohon sudah terlalu besar sehingga tidak perlu berlebihan merawatnya, ia sangat menyayanginya dan bahkan memperlakukan seperti seorang wanita yang selalu butuh kasih sayang seorang lelaki.
"Ayo, dimakan," ucapnya seraya menyodorkan buah Mangga yang usai dikupasnya di atas piring. Buah itu begitu kuning. Saya mengambil beberapa potong. Manis sekali rasanya.
"Ini anak-anak saya," kata lelaki itu sambil menunjuk buah Mangga, "Mereka manis-manis, karena saya rajin memelihara ibunya."
Aku mengernyitkan dahi. Apa yang ia maksudkan? Mengapa ia menganggap buah itu anaknya?
Semakin lama aku tinggal di perumahan ini, perlahan kulihat para tetangga menjauhinya. Meski bocah-bocah masih bermain di halamannya siang hari, saat malam, halaman dan sekitar rumahnya begitu sepi, seperti tidak ada kehidupan.
Apalagi, suara-suara aneh sering tetangga dengar -- aku pun demikian -- kala tengah malam menjelang, dari tengah-tengah pohon yang tertutup rapat dedaunan.Â
Terkadang berbunyi seperti seseorang yang sedang merintih kesakitan. Pernah pula menyerupai senandung lembut yang mengantarkan seseorang hendak tidur. Suatu kali bahkan kukira itu adalah perkataan orang yang mengoceh tidak karuan.
Setiap aku berkunjung ke rumah itu, lelaki itu selalu berkilah bahwa tidak pernah ada suara-suara. Mungkin orang-orang salah dengar, katanya. Mungkin pula aku punya penyakit telinga.
Tetapi, ya sudahlah. Jika memang itu yang terjadi padanya dan ia pun masih nyaman dengan pohon itu, apalah yang bisa dilakukan orang-orang. Sebagian warga akhirnya menduga itu adalah istrinya yang dikutuk dan menjelma menjadi pohon. Sebagian lagi menganggapnya sudah miring dan perlu ke dokter jiwa.
Barangkali dugaan itu salah. Barangkali pula sedikit benar, setelah suatu saat bersama para tetangga lain, seusai mencurigai mengapa beberapa hari ini lelaki itu tidak keluar rumah sekadar menyapu halaman, kami temukan ia duduk bersila tidak bernyawa di bawah pohon.