Rumahnya tidak terlalu besar. Pohon Mangga itu lebih besar empat kali dibanding ukurannya. Batangnya tumbuh ke atas, menembus loteng dan atap rumah. Gentingnya rusak sampai berlubang, tetapi sinar matahari yang selalu panas setiap siang tidak bisa merangsek ke dalam rumah.Â
Daun-daun pohon itu begitu lebat, terlalu rapat, menutup setiap celah, sehingga semua yang bernaung di bawahnya, tidak akan terkena panas matahari atau hujan dari langit.
Tidak banyak yang bisa kuketahui dari lelaki si pemilik rumah. Tetangga pun tidak banyak bercerita setelah kutanya. Sore itu, sengaja aku mendatangi rumahnya. Karena aku sempat ragu dan melihat rumahnya sedikit tampak angker dari kejauhan, maka kuaturlah rumahnya kukunjungi pada giliran terakhir.
"Selamat datang," sambut lelaki itu setelah ia membukakan pintu. Suaranya lebih terdengar seperti seorang kakek. Kecil dan parau. Rambutnya panjang kusut berwarna cokelat, hampir layaknya tidak pernah dirawat. Mukanya penuh keriput. Matanya sayu dan sedikit sipit. Ia tinggal sendirian.
Setelah menyilakan aku duduk, ia berkata, "Maaf, saya kerjakan ini sebentar." Aku mengangguk. Ia membawa sebuah penyiram tanaman berisi penuh air, lantas menyiramkan air itu pada batang dan akar pohon di ruang tengah. Aku bisa melihat dengan jelas, karena ruang tamu dan ruang tengah tidak ada dinding pemisah.
Aku meletakkan potongan roti bolu di meja tamu. Kualihkan pandangan ke sekitar dinding-dinding rumah. Tidak hanya ubin-ubin lantai yang pecah, akar pohon itu juga merambat ke dinding dan membuatnya retak.Â
Pada sebagian dinding, terlihat seperti menghijau sebab ditumbuhi lumut. Ya, pasti lumut akan tumbuh di daerah lembap. Kalau Anda ingin membayangkan seberapa lembapnya, bayangkanlah gua yang tersembunyi di bawah tanah yang tidak pernah disinari matahari.
Setelah lelaki itu selesai menyiram, ia membuka sebuah karung goni berisi tanah-tanah hitam kering, mengambilnya sebanyak tiga kepalan tangan, lalu menebarkan di sekitar akar-akar dan dasar pohon. Barangkali ia sedang memberi pupuk, pikirku.
"Ibu baru di sini?" katanya mendekatiku. Ia lupa cuci tangan. Tangannya masih kotor. Ia hendak menyalamiku. Aku hanya tersenyum.
"Iya, Pak, saya baru kemarin pindah," jawabku, "Ini ada roti saya bawa, semoga Bapak berkenan." Aku mendorongkan kotak roti itu ke dekatnya.
"Tidak perlu repot-repot."