Ibu beranjak dari kursi goyang. Ia mengambil segelas blirik hijau berisi teh panas. Ia membuka tutupnya, mengambil sesendok teh gula, lantas mengaduk sampai rata. Ia meletakkan sirih pinang dari mulut. Ia minum teh itu panas-panas. Sejenak, ia membuka mulut dan mengembuskan udara berkali-kali. Sepertinya, teh itu terlalu panas.
"Memangnya, ada yang bisa memarahi orang untuk melakukan hal yang disukainya? Selama tidak mengganggu orang kan tidak masalah. Lagian, umur boleh tua, tapi kesenangan masa kecil, apa salah jika tetap dimainkan?"
Saya berpikir sejenak. Benar juga ya, buat apa malu selama tidak mengganggu. Tidak salah pula, kenangan masa kecil masih berbekas hingga lanjut usia. Selama masih dirasa menyenangkan, bebas-bebas saja seharusnya dilakukan kembali.
Demikianlah ibu saya adanya. Nenek -- kala bocah-bocah memanggil -- selalu bersemangat ketika jam bermain gundu sore hati tiba. Ia selalu datang paling duluan dibanding bocah-bocah.
Ia akan mengambil pengki dan sapu, lantas membersihkan sepetak tanah yang akan dijadikan arena bermain, dari tumpukan daun kering. Dalam tubuh bungkuk, dalam napas yang tersengal-sengal, dalam sisa tenaga yang masih ada, ia terus memainkan kebiasaan masa kecilnya.
Ia beroleh kesenangan dari sana. Waktu reumatik terkadang kambuh saat malam hari dan begitu menyiksa. Waktu asam urat naik sampai-sampai ia sulit berjalan. Waktu kenangan akan bapak datang begitu saja, memeras rindu dan mengingat kembali kasihnya yang dulu.Â
Ia akan menangis sendirian dalam kamar, sesekali terisak-isak. Sekilas, ia jadi terhibur, seusai melihat tumpukan gundu di atas meja. Bayangan keasyikan bermain gundu sungguh menghibur hatinya.Â
Adakah salah, seseorang yang sudah tua, memainkan kembali keasyikan masa kecil? Tua hanya perkara umur, sementara kesenangan tidak pernah lekang olehnya.
...
Jakarta
2 September 2021
Sang Babu Rakyat