Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Nenek Masih Main Gundu

2 September 2021   16:16 Diperbarui: 2 September 2021   17:06 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gundu, sumber: Pixabay

"Iya, itu, si Bu Minten. Ibunya Minah."

"Oh, yang baru pindah ke sini itu ya, Bu."

Seorang ibu menganggukkan kepala.

"Habis lihat ibu itu, anak saya langsung lari. Takut dia, katanya. Aneh, masak sudah nenek-nenek masih main gundu?"

"Saya sih juga dengar, Bu. Kata ibu di RT sebelah, ada yang bilang anaknya sampai nangis saat main sama temannya sore hari. Apa karena Bu Minten?"

Seterusnya, sebagainya, lain-lain, aneka rupa perbincangan yang dikemas dalam gosip yang renyah dibahas saya dengar. Gosip ibu-ibu apa yang tidak bisa diketahui dengan cepat? 

Seluruh dinding rumah di desa ini seperti punya mata untuk melihat, bibir untuk bicara, dan telinga untuk mendengar. Apalagi mengurusi soal masalah orang, semua merasa paling ahli berpendapat.

Saya sebetulnya juga heran, mengapa ibu yang sudah delapan puluh tahun masih main gundu? Apa ia tidak malu dilihat teman sebayanya? Apa ia mau dikira tidak dewasa? Apakah perkara ini memang sengaja dihadirkan dan saya saksikan untuk membuktikan kata orang, bahwa jika orang semakin lanjut umur, semakin pula kembali ke pemikiran anak-anak?

"Tiss ...."

Terdengar suara gundu saling beradu. Dari beberapa ratus meter jaraknya di atas tanah, nenek itu jongkok. Ia memicingkan sebelah mata. Ia menaruh gundu berwarna putih susu tepat di depan ibu jari dan disangga dengan telunjuk pada tangan kanannya. 

Tangan yang dipenuhi keriput dan sangat layu itu -- hampir terlihat tulang-belulang -- sedikit terangkat dan disangga pula dengan tangan kiri yang mengepal di bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun