"Iya, itu, si Bu Minten. Ibunya Minah."
"Oh, yang baru pindah ke sini itu ya, Bu."
Seorang ibu menganggukkan kepala.
"Habis lihat ibu itu, anak saya langsung lari. Takut dia, katanya. Aneh, masak sudah nenek-nenek masih main gundu?"
"Saya sih juga dengar, Bu. Kata ibu di RT sebelah, ada yang bilang anaknya sampai nangis saat main sama temannya sore hari. Apa karena Bu Minten?"
Seterusnya, sebagainya, lain-lain, aneka rupa perbincangan yang dikemas dalam gosip yang renyah dibahas saya dengar. Gosip ibu-ibu apa yang tidak bisa diketahui dengan cepat?Â
Seluruh dinding rumah di desa ini seperti punya mata untuk melihat, bibir untuk bicara, dan telinga untuk mendengar. Apalagi mengurusi soal masalah orang, semua merasa paling ahli berpendapat.
Saya sebetulnya juga heran, mengapa ibu yang sudah delapan puluh tahun masih main gundu? Apa ia tidak malu dilihat teman sebayanya? Apa ia mau dikira tidak dewasa? Apakah perkara ini memang sengaja dihadirkan dan saya saksikan untuk membuktikan kata orang, bahwa jika orang semakin lanjut umur, semakin pula kembali ke pemikiran anak-anak?
"Tiss ...."
Terdengar suara gundu saling beradu. Dari beberapa ratus meter jaraknya di atas tanah, nenek itu jongkok. Ia memicingkan sebelah mata. Ia menaruh gundu berwarna putih susu tepat di depan ibu jari dan disangga dengan telunjuk pada tangan kanannya.Â
Tangan yang dipenuhi keriput dan sangat layu itu -- hampir terlihat tulang-belulang -- sedikit terangkat dan disangga pula dengan tangan kiri yang mengepal di bawah.