"Minggir ... minggir ...."
Beberapa bocah menepi dari arena. Pada sekotak garis di atas tanah yang tergambar dengan kapur putih tepat di bagian tengah arena, terdapat beberapa gundu yang sengaja dipasang untuk diperebutkan. Jika gundu pemain yang dilontarkan tepat mengenainya, maka gundu itu menjadi milik mereka.
"Serrr ...."
Nenek menembakkan gundu. Gundu itu berguling cepat, semakin cepat di atas tanah yang kering dan agak turun ke bawah. Dalam sekejap mata, kecepatan gundu yang membuat bocah-bocah itu terheran-heran, berhasil menabrakkan gundu pemain pada gundu dalam kotak.
"Nenek hebat ya, main gundunya?" tanya seorang bocah dengan begitu polos.
Nenek itu tertawa. Giginya yang kuning dan ompong pada bagian seri atas terlihat jelas. Sesekali ia membenarkan posisi sirih pinang di mulut dengan ibu jari.
Awal-awal bocah-bocah itu memang tidak nyaman bermain. Tetapi, karena nenek itu lihai dan piawai memainkan gundu, lama-kelamaan suasana jadi cair. Bahkan banyak dari bocah-bocah itu minta belajar pada si nenek.
"Ibu ngapain umur segini masih main gundu?" tanya saya suatu malam ketika kami sedang nonton televisi berdua. Ibu duduk di kursi goyang yang juga saya bawa pulang dari desanya. Ia memang sengaja minta, bahkan mengancam tidak mau pindah jika kursi itu tidak sekalian dibawa. Katanya, kursi itu mengingatkan pada bapak.
"Ada yang salah dengan main gundu?"
Hmm... Saya diam sejenak.
"Tidak ada yang salah, sih, Bu. Tidak ada yang salah. Main gundu tidak pernah salah. Cuma, apa ibu tidak malu sama orang-orang? Sudah wajah nenek-nenek, malah main gundu."