Saya tertawa. Jujur, bukan soal saya tidak berjuang mendapatkan Marni. Saya sudah bekerja waktu itu. Saya pun punya mobil dan rumah sendiri. Untuk pemuda yang sudah siap dan pantas menikah, saya pasti termasuk.
Sayang, Mama Marni tidak setuju. Ia sudah dipesan oleh mendiang suaminya, untuk menikahkan Marni dengan sepupunya yang masih satu tali kekeluargaan.Â
Saya ingat betul, bagaimana Marni memutuskan berdiam dalam kamar berhari-hari. Kendati itu Mamanya, ia pun berpuasa tidak bicara. Hari-hari dilaluinya dalam kesendirian dan keterasingan yang diciptakannya di rumah sendiri, sebagai bentuk protes atas pengekangan hak asasi manusia untuk memilih pasangan hidup. Akhirnya, Mamanya mengalah dan menyetujui saya sebagai menantunya.Â
Tiba-tiba Marni ikut tergelak. Jarinya menunjuk sebuah foto. Ada sepasang kekasih sedang meneduh di bawah atap rumah. Mungkin ia teringat pada saya yang begitu bodoh, sampai berhujan-hujan, menunggunya selesai les bernyanyi.Â
Mungkin pula ia merasa heran dengan saya yang begitu sabar tetap ada bersamanya ketika ia betul-betul marah, mengapa sang guru les tidak kunjung datang.Â
Saya sendiri takjub, mengapa demi cinta, terkadang saya bisa bodoh dan bertindak di luar akal sehat?
Yang pasti saya suka, setidaknya emosi Marni sudah membaik. Beberapa foto penuh kenangan tidak pernah habis khasiatnya untuk mengobati hilangnya semangat hidup. Marni terus membuka foto sampai halaman terakhir. Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Ia mengerutkan dahi, seolah menyimpan tanya.
"By, foto yang ini ke mana?" ucapnya dengan suara sedikit kencang. Dari empat foto yang tertempel di halaman terakhir album itu, satu tidak ada. Tepat di bagian pojok kanan bawah.
"Bukannya kamu bilang, kamu sendiri yang ingin menyimpan kenangan yang baik-baik saja?"
"Betul, sih. Tapi, mengapa sampai foto ini tidak ada? Kamu membuangnya?"
"Saya hanya melakukan apa yang kamu mau."