Saya mematikan televisi yang menyala sedari tadi. Saya mengganti nyala lampu putih dengan lampu kuning yang sedikit temaram.Â
Saya putar perlahan alunan lagu Jazz melalui pengeras suara. Di atas kursi goyang, saya pura-pura menatap ponsel. Sesekali, saya curi-curi pandang ke Marni, memastikan bahwa ia tetap baik-baik saja dalam keadaannya yang sedang tidak baik itu.
Marni membuka album foto berukuran sedang -- sekitar 40 cm kali 60 cm -- yang bersampul putih dengan pita berwarna-warni dominasi merah muda.Â
Album itu dari luar terlihat bergaya feminis sekali. Ia membuka halaman pertama. Ia mengamati benar satu demi satu foto yang terselip dalam plastik di album itu.
"Kamu mau saya buatkan teh?" tanya saya padanya. Saya tahu, ia paling suka teh poci panas dengan perasan jeruk lemon. Semoga saja dapat mengurangi tekanan yang sedang dialaminya.
"Boleh," jawabnya perlahan. Saya menuju dapur. Tidak berapa lama, teh itu selesai saya racik. Saya kembali ke ruang tamu. Sudah ada segurat senyuman di bibir Marni. Matanya yang layu sejak tadi, mulai sedikit berbinar-binar. Sesekali ia tertawa kecil.
Kenangan, oh, kenangan. Meskipun engkau lenyap oleh waktu dan ruang, engkau tetap terabadikan dalam sebuah foto. Memori otak manusia mengingat benar pada sebagian kenangan.Â
"By, kamu masih ingat, saat kita nikah dulu?" ujar Marni setelah mengajak saya duduk di dekatnya sambil jarinya menunjuk sebuah foto. Ada sepasang kekasih keluar dari rumah ibadah dan berfoto di depan sebuah mobil mewah.Â
Mempelai perempuan bergaun putih bersih dan panjang megah, sambil memegang sebuket bunga di tangan. Mempelai laki-laki berdiri tegap, berjas cokelat, dan memakai topi hitam, dengan tangan yang memeluk erat mempelai perempuan dari belakang.
"Ingatlah!" jawab saya sambil tersenyum.
"Kamu ingat pula, bagaimana perjuangan saya memohon pada Mama?"