"Kamu anak ibu, kan?"
"Iyalah. Masak anak siapa?"
"Kamu tahu kan, bagaimana akibat jika seorang anak melawan kata-kata ibu?"
Anaknya tidak menjawab. Keningnya sedikit berkerut, menandakan ada sesuatu yang tidak jelas. Ia merasa tidak melakukan apa-apa, tetapi mengapa aura ibunya seperti menyalahkan.
"Tahu. Ibu juga tahu kan, saya tidak pernah mengecewakan ibu."
Lastri mendeham. Ia sudah begitu menyabar-nyabarkan diri tinggal beberapa hari di rumah itu. Ia mencoba menenangkan dirinya melihat kelakuan seorang perempuan yang dianggap tidak tahu malu di rumah orang.
Bagaimana perempuan itu berkali-kali memakai celana pendek dan suka mengangkangkan kaki ketika menonton televisi. Ketika semua sedang bersama-sama menonton televisi. Apa perempuan itu tidak sadar dilihat orang?
"Tetapi, dia kan cuma kakak ipar, Bu? Apa salahnya tinggal di rumah saya?" si anak mencoba menjelaskan.
"Kamu tidak tahu, ada sesosok lagi tinggal di rumah kamu!"
"Maksud ibu?" Anak itu memandang atap mobil. Ia melayangkan pandang, mencoba mengingat-ingat, siapa yang dimaksud Lastri.
"Setan! Satu lagi setan. Ia sebentar lagi berbisik di telingamu, mencoba merayumu, lantas kamu kalah, dan seketika tanpa pengetahuan istrimu, kamu menyetubuhi kakak iparmu itu."