Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini, biar tak mengapa. Rela rela rela aku relakan, rela rela rela aku rela...
Demikian sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan oleh Alm. Meggy Z berjudul "Lebih Baik Sakit Gigi". Lagu itu tenar di kalangan pecinta musik dangdut.Â
Lirik mengatakan meskipun keduanya sama-sama tidak enak, sakit gigi masih lebih baik daripada sakit hati. Kendati sakit gigi sangat tidak nyaman.Â
Bagaimana linu-linu gigi setiap malam membuat sulit tidur. Bagaimana untuk mengunyah saja sakit sekali. Mengurangi nafsu makan dan menghilangkan nikmatnya. Yang pernah sakit gigi, pasti tahu.
Dua hari ini saya pun sedang sakit. Murus-murus beberapa menit sekali, berbentuk cair. Suhu badan naik seketika. Saya pegang leher dan dahi, keduanya panas.
Ada rasa mulas di perut. Seperti masuk angin. Semalam tadi, saya berjuang keras untuk tidur. Kepala toleh sana toleh sini, badan geser kiri geser kanan, mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja mata sulit dipejamkan.
Karena sudah menjadi kewajiban setiap hari kami -- para anak -- memberi kabar kepada orangtua, Mama yang di kampung otomatis tahu.Â
Beliau menyarankan makan makanan panas dan minum air putih hangat. Taruh minyak kayu putih di dada dan leher. Beliau memang tidak suka sedikit-sedikit makan obat. Pengobatan tradisional lebih dikedepankan.
Saya mencoba tenang saat itu. Saya ingat-ingat apa yang telah saya lakukan sehingga bisa sakit. Jarang-jarang saya sakit. Apa mungkin karena angin kipas terlalu kencang waktu tidur dan menghadap langsung ke badan? Apa sebab saya kurang tidur dan terlalu banyak beraktivitas?
Dalam perenungan itu, saya akhirnya memaknai sakit sebagai:
Menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu sehat
Manusia terbatas adanya. Tidak selamanya kondisi badan selalu memungkinkan untuk beraktivitas. Ada kala rasa lelah dan jenuh mendera. Setiap anggota badan tidak bisa diajak kerja sama melakukan ini dan itu.
Satu sakit, semua ikut sakit. Sekadar mau makan saja tidak semangat. Maunya, semua geletak di atas tempat tidur. Mereka minta istirahat. Sehat memang sangat menyenangkan dan berharga. Lebih kita sadari itu ketika sakit melanda.
Merenungi kembali waktu telah digunakan untuk apa
Apakah selama sehat kita sudah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya? Apakah ketika kondisi badan bugar, kita telah memberi dampak baik bagi sesama?
Waktu-waktu yang telah dilalui saya renungi kembali. Selama ini saya berbuat apa? Sudahkah kehadiran saya berguna? Ketika sakit, saya sulit optimal melakukan itu.Â
Menyadarkan diri untuk juga mencintai pribadi
Sepertinya ada yang salah dengan pola hidup saya. Saya tidak memberi istirahat cukup pada tubuh. Saya terlalu menguras pikiran. Saya tidak memberi konsumsi makanan yang sehat bagi diri.
Saya kurang berolahraga dan lebih bermalas-malasan di atas kasur. Racun yang keluar melalui keringat tidak ada. Saya disadarkan untuk sebaiknya seimbang dalam bermanfaat bagi sekitar dan mencintai pula diri sendiri.
Apakah sakit adalah saat tepat untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa?
Bagian ini sebetulnya saya tidak terlalu setuju. Bukan sakit saja, saat kita mendekat kepada Yang Kuasa. Ketika sehat, makmur, dan limpah harta, itu pun saat tepat.
Tidak memandang kondisi kita sedang apa, mendekat diri kepada Yang Kuasa seharusnya menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan. Sakit mungkin boleh dipandang sebagai pengingat.
Akhir kata...
Kondisi sakit pasti dilalui seluruh manusia. Tidak ada yang super power. Bahkan robot pun bisa aus suatu saat. Saat itu tiba, kita lebih banyak diberi waktu untuk merenungi kembali apa itu hidup.
Bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana kita menjalaninya. Sudahkah kita bermanfaat? Sudahkah kita mencintai diri sendiri? Satu yang pasti, sudahkah kita menghargai betapa mahal sehat itu?
...
Jakarta
15 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat