Setiap hari raya, di antara dua hari libur nasional yang berdekatan, atau mendekati libur akhir pekan, sering terjadi ada hari kerja terjepit (harpitnas). Ini dijadikan momen untuk mengambil cuti, guna melengkapi euforia libur panjang.
Semua pegawai ingin. Semisal, cuti saat harpitnas hari Lebaran, yang sepantasnya diambil oleh pegawai Muslim. Maka, pegawai nonmuslim adakalanya mengalah dan memberi kesempatan kepada pegawai muslim untuk merayakan hari besarnya.
Cuti diganggu pekerjaan
Saya tidak menutup mata. Ini satu dua kali ada. Saat cuti -- seharusnya kita bebas dari rutinitas kantor -- masih diminta bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Biasanya, terjadi pada pegawai yang begitu diandalkan. Memegang peranan penting dan berkontribusi besar dalam pelaksanaan pekerjaan. Sering memberi ide cemerlang, ahli mengolah data, sehingga kehadirannya begitu diperlukan.
Pemberian izin cuti
Pemberian izin cuti sepenuhnya ada di tangan atasan atau pimpinan. Mereka sekiranya telah menimbang-nimbang, bagaimana kondisi pekerjaan jika pegawai bersangkutan cuti.
Adakah pekerjaan telah beres dengan baik? Adakah pegawai lain dengan kompetensi sama bisa menggantikannya? Adakah cuti boleh ditunda karena urusan pekerjaan yang begitu mendesak? Dan lainnya, sehingga membuat pemberian cuti berdampak baik, baik untuk pegawai maupun keberlangsungan perusahaan.
Saya yakin, sebagian atasan telah dibekali kemampuan manajemen pegawai. Sebagian besar mereka kemungkinan besar tidak tega, atas alasan kemanusiaan seperti perkabungan dan sakit, menolak memberikan cuti. Atasan juga manusia, sama seperti pekerja.
Akhir kata...
Cuti dan bekerja berturut-turut adalah hak dan kewajiban para pekerja. Keduanya seyogianya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sekali waktu memperhatikan etika baik kepada atasan maupun sesama pekerja.
Ya, kita pekerja juga berkehidupan sosial bukan? Sama-sama saling menghargai dan menghormati.
...
Jakarta
3 Juni 2021
Sang Babu Rakyat