Polemik yang kerap terjadi
Dalam hubungan sebagai pekerja dengan atasan dan sesama pekerja lain, kita kerap menemui satu dua polemik saat mengajukan izin untuk cuti tahunan. Kendati, cuti adalah hak pekerja. Meskipun, kita boleh menggunakannya kapan pun.
Sedang viral belakangan ini, dugaan sering izin sakit dari pekerja adalah cara sabotase bisnis. Ini mengundang banyak reaksi warganet. Kendati tidak tersurat kata cuti, sakit juga bisa menjadi alasan cuti.
Selain itu, masih ada polemik lain, terutama terkait etika tentang baik buruknya pengambilan dan penetapan cuti pada saat-saat tertentu. Sebagai seorang pekerja, saya menyadarinya di lapangan.
Cuti saat pekerjaan menumpuk
Ada momen-momen tertentu di mana intensitas pekerjaan tinggi dan target mendesak harus dicapai. Semisal, akhir bulan atau akhir tahun, terkait pembukuan laporan keuangan atau perolehan target penjualan.
Kala itu, semua pegawai sedang sibuk-sibuknya. Kekurangan satu pegawai dirasa memberatkan bagi yang lain. Pekerjaannya otomatis diserahterimakan dan menambah beban yang lain. Tiap-tiap pegawai saja sudah kerepotan, ini ditambah lagi.
Cuti bersamaan dengan pekerja lain
Tidak menutup kemungkinan, dari beberapa bawahan dalam satu atasan, terjadi cuti serempak. Karena alasan mendesak yang berbeda, beberapa pegawai mengambil cuti pada hari bersamaan.
Ini menjadi polemik, karena siapa nanti yang akan menyelesaikan pekerjaan? Siapa yang jaga di kantor? Satu dua orang harus mengalah. Sesekali, mengorbankan kepentingan pribadinya.
Cuti kala harpitnas