Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Orang Paling Ganteng Sedunia

6 April 2021   00:42 Diperbarui: 6 April 2021   15:33 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: wartakutim.co.id

Saya sudah menyadari ada bibit-bibit kegantengan pada dirinya sejak dulu, ketika kami belum kenal dan saya hanya duduk terpaku, sendirian, menatapnya dan teman-temannya bermain basket di lapangan sekolah kami.

Saat itu, saya datang dari luar kota dan baru masuk sekolah lanjutan ini. Belum banyak teman yang saya tahu, hanya lima kawan dari sekolah sebelumnya, yang mendaftar bersama dan kebetulan kami masuk semua. Sungguh, kami begitu senang diterima di sekolah favorit di kota ini. Tambah senang pula ada dia yang begitu ganteng itu.

Kami berbeda angkatan. Saya kelas satu, dia kelas tiga. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh, di bawah pohon di depan kelas saya, karena saya tidak berani mendekat, takut-takut salah ucap dan perasaan saya yang begitu menggelora ini diketahui olehnya.

Selalu saya sempatkan mengintipnya--dengan alasan pura-pura ke toilet atau ke kantin pada guru--saat dia sedang olahraga. Dia begitu mahir bermain basket. Sekali lempar, selalu masuk ke lubang. Dari jarak berapa pun, tetap masuk ke lubang. Beberapa teman wanita saya menganga menyimak kepandaiannya, sambil duduk begitu setia di bawah panas matahari, rela hitam-hitaman, demi menikmati kegantengannya.

Sekolah kami unik. Entah mengapa saya baru tahu sejak masuk. Tidak ada pemberitahuan di brosur-brosur pendaftaran. Tetapi, memang tidak penting juga untuk disebarluaskan.

Setiap tahun, sekolah kami mengadakan lomba kegantengan. Dari semua siswa pada setiap kelas, akan dipilih satu perwakilan untuk dilombakan kegantengannya. Dan tidak usah ditanya, dia pasti ikut.

Lomba ini semacam basa-basi sebetulnya, untuk meningkatkan keakraban antarsiswa. Para siswi akan duduk diam di depan panggung, melihat mereka siswa-siswa kontestan berkacak pinggang, berlalu-lalang, memamerkan kegantengannya, di bawah kerlap-kerlip lampu sorot. Kalau kamu bilang itu sebuah peragaan model, seperti itulah.

Jurinya bukan guru, bukan pula orang profesional yang sengaja didatangkan dari luar dan dibayar. Tetapi, mereka para siswi dan termasuk saya, dengan membubuhkan satu garis lurus semacam turus, menggunakan kapur putih, pada nama siswa kontestan yang dipilih di papan tulis hitam.

Tahun ini, dia juaranya. Dia mendapat peringkat siswa terganteng di sekolah saya. Saya senang. Tetapi lagi-lagi, saya tidak berusaha menunjukkan itu di depannya. Dari jauh tetap saya amati dan nikmati kegantengannya.

Di tingkat antarsekolah, lomba kegantengan pun ada. Saya heran dengan kebiasaan sekolah-sekolah di kota ini. Kali ini, kriteria ganteng bertambah. Selain dari faktor wajah, prestasi di sekolah juga diperhitungkan.

Entah memang dia beruntung, otaknya pun begitu encer, sehingga setiap ujian, dia selalu mendapat nilai terbaik. Karyanya yang dikirim pada lomba menulis ilmiah, selalu menjadi pemenang pertama. Gurunya pada kelabakan ketika mengajarinya. Bahkan, ada satu guru yang memintanya menjadi asisten untuk membantu mengajar.

Dia begitu tanpa cacat dalam prestasi. Dari kelas satu sampai tiga, selalu peringkat satu. Saya tidak mengerti apa yang ada di otaknya? Apakah dia sudah bisa menebak isi soal-soal ujian itu? Apakah dia selalu belajar dan belajar tanpa pernah bermain? Atau dia berasal dari keluarga yang genetiknya memang pintar?

Tidak pernah ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang pasti, dia sudah mengharumkan sekolah kami, dengan prestasinya itu. Dan lagi-lagi, dia menang lomba kegantengan antarsekolah. Tidak ada siswa sekolah mana pun yang bisa mengalahkan akumulasi nilai penjurian yang diperolehnya.

Sudah ganteng, pintar lagi. Bukankah itu begitu ganteng?

Karena menang tingkat antarsekolah di kota ini, dia melaju ke lomba kegantengan antarkota. Kriterianya bertambah rumit. Kali ini, dinilai tingkat sopan santun dan budi pekertinya.

Apakah dia menghormati dan berbakti pada orangtua? Apakah dia menyayangi saudara-saudaranya, baik kakak maupun adiknya di rumah? Apakah dia seorang anak baik-baik dan tidak melawan guru di sekolah?

Kriteria-kriteria itu diperoleh dari wawancara orang di sekitarnya. Tidak mungkinlah orangtuanya yang ditanya. Pasti, mereka akan bilang anaknya baik. Tidak mungkin pula adik kakaknya. Pasti, mereka akan bilang saudaranya itu sopan dan sangat sayang.

"Dia anaknya santun, Pak. Setiap pergi ke sekolah, dia selalu pamit dan cium tangan kedua orangtuanya. Ketika jam pulang sekolah, dia selalu sampai rumah tepat waktu. Untuk pergi bermain keluar rumah, dia tidak berani bila orang tuanya tidak mengizinkan," kata seorang tetangga tepat di sebelah rumahnya.

"Oh, dia, Pak?"

"Dia itu anaknya rajin. Ke sekolah tidak pernah terlambat. Sama guru dia selalu hormat. Selalu dia menundukkan kepala setiap lewat di depan guru. Sama saya saja yang tidak penting ini, dia berbicara pelan sekali, begitu tertata dan sopan," kata penjaga sekolah ketika memberi kesaksian.

Para juri lomba mencatatnya dengan baik di atas sebuah kertas putih. Kali ini dia bersaing dengan lima puluh siswa terganteng versi kota masing-masing. Sama sekali saya tidak dapati dia gugup, ketika saya diam-diam membuntutinya. 

Saya memang meminta kepada guru pendampingnya, supaya saya boleh menjadi bagian supporter lombanya ke mana-mana. Saya rela, mengeluarkan uang untuk transportasi dan beli busana meriah beserta aksesorinya, layaknya para cheerleader di lapangan basket. Saya rela, memberikan waktu membaca saya terbuang begitu saja--saya begitu suka baca--demi menyaksikan perjuangannya.

Sekali lagi, apakah ini rezeki anak baik? Mengapa dia begitu beruntung, seolah-olah dewi fortuna selalu lengket dan dia tidak mengalami masalah yang begitu berarti pada setiap lomba? Termasuk pula lomba tingkat ini.

Dia keluar sebagai pemenang. Siswa terganteng antarkota. Saya menangkap ekspresi wajah yang begitu gembira ketika peringkat itu diumumkan dan piagam beserta sejumlah uang pendidikan itu diserahkan juri padanya.

Pasti, dia akan memberikan uang itu pada orangtuanya. Pasti, dia akan menyerahkan piagam itu untuk sekolahnya. Dan pasti pula, dia akan digilai oleh semakin banyak siswi di sekolah kami.

Sudah ganteng, pintar, budi pekertinya baik lagi. Bukankah itu ganteng optimal?

Meskipun saya sudah tahu, semua kisah perlombaan itu diceritakannya kepada kami, ketika acara perpisahan sekolah. Memang sudah kewajiban, setiap siswa terganteng di sekolah kami memberikan wejangan dan tip bagi juniornya, agar ada penerus pemenang lomba kegantengan, sampai tingkatan tertinggi.

Oh iya, kamu mau tahu bagaimana parasnya yang ganteng itu? Bentuk hidungnya? Sorot matanya? Warna kulitnya? Setelan rambutnya? Manis senyumnya? Maaf ya, saya tidak akan memberitahumu. Saya takut, nanti kamu terpesona dengannya. Saya takut pula, dia jatuh cinta padamu.

Dari semua lelaki yang pernah saya jumpai, jujur, dia orang terganteng yang pernah ada. Ganteng parasnya, ganteng otaknya, ganteng pula budi pekertinya. Semakin ke sini, saya tidak mau kehilangannya. Saya pun tidak mau berbagi denganmu. Di mana lagi saya temukan orang seganteng dia, terlalu ganteng bahkan, mungkin sedunia, selain dalam mimpi?

...

Jakarta

6 April 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun