Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesetiaan pada Sepotong Kue

20 Maret 2021   22:02 Diperbarui: 20 Maret 2021   22:40 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sajian Sedap

Ada enam orang keluar dari kafe itu ketika mobil kami tepat parkir di depannya. Mereka seperti tiga pasang kekasih, yang habis memadu cinta dan melepaskan penat melalui asmara yang amat gampang menggelora dalam kafe itu.

Seorang lelaki berjalan memegang erat tangan perempuannya. Seorang perempuan melangkah terhuyung-huyung sambil meletakkan kepalanya di bahu lelakinya. 

Satu lagi, ada dua perempuan yang begitu asyik berbincang. Tangan yang satu melingkar memegang perut yang lain, dan dari belakang ia berbisik di telinga perempuan di depannya. Entah, kurasa mereka bukan sekadar teman. Mengapa hanya untuk bicara sampai-sampai semesra itu?

Ah masa bodoh, itu kan urusan orang sebetulnya. Mau dia suka lawan jenis, atau sesama jenis, buat apa aku pikir dalam-dalam. Toh juga cinta dari dulu memang sudah gila.

Yang penting, aku senang malam ini lelaki di sebelahku benar-benar mau menuruti keinginanku. Meskipun aku harus merengek-rengek dulu, meskipun aku mesti berbohong bahwa kepalaku sakit dan hanya kue di kafe ini yang bisa menyembuhkannya, meskipun dia sudah lelah mengurusi semua persiapan untuk hari esok.

Dia masih sempat menungguku lama di depan kantor, menjemput dan menyopiri sampai sini, kafe langgananku, tempat pejantan dan betina saling bertemu dan menghangatkan cinta. Ya, kafe ini sudah tersohor di kota ini sebagai tempat termanis untuk berpacaran.


Kafe ini tidak terlalu lebar, hanya memanjang ke belakang. Temboknya berwarna cokelat. Aroma parfum cokelat menyeruak pada setiap ruangan. Di bagian dalam, ada meja-meja kecil dengan dua buah kursi pada setiap meja--sepertinya memang desain awalnya meja itu untuk sepasang kekasih--dengan atap langit malam, hanya tertutup sebuah payung besar. 

Di atas meja itu, ada sebuah gelas dengan lilin kecil yang terus menyala. Gemericik air dari bambu yang naik turun di atas kolam pada sepetak taman di sekeliling meja itu, bersama alunan musik jazz yang perlahan terdengar, begitu menambah suasana romantis bagi kekasih yang haus kasih sayang.

Tidak terkecuali kami. Sudah berkali-kali, tidak terhitung banyaknya, kami menghabiskan masa pacaran di sini. Selain karena dia suka cokelat panasnya, aku begitu suka dengan kue black forest-nya. 

Tidak hanya aku yang menyukai kue itu. Buktinya, kue itu selalu terpampang menjadi kue terlaris yang dipesan pengunjung dari pertama kali kami berkunjung sampai malam terakhir kami sebagai sepasang kekasih.

Ya, besok kami akan menikah. Karena itulah, aku mengajaknya ke sini. Aku tidak ingin terluka lagi. Aku mau melihat, apa dia benar-benar akan setia menemani hidupku kelak? Aku sudah dua kali bercerai. Aku begitu muak dengan ketidaksetiaan.

"Mas, biasa ya," aku memanggil pelayan kafe. Dari kejauhan dia mengangguk. Tanpa bicara, dia lekas menuju dapur. Tidak berapa lama, pesananku datang. Dua gelas cokelat panas dan seporsi kue black forest yang terdiri dari tiga potong berbentuk segitiga, tersaji begitu cantik dengan sebuah berry di atasnya.

Tanpa malu-malu, aku dan Anggara lekas makan. Aku mengambil sepotong, dia mengambil sepotong. Kami melumatnya dengan lahap. Kami memang belum sempat makan malam.

Aku memejamkan mata. Fla cokelat yang begitu manis dan tidak terlalu kental di tengah bolu itu, membuatku terus menelan ludah. Potongan-potongan batang cokelat kecil di atasnya bersama dengan krim vanila, tidak kalah nikmat dan begitu renyah, sekaligus juga menenangkan. Sebuah awal baik bagiku untuk mengujinya. Aku memang tidak sekadar mengajaknya makan di sini.

Tinggal sepotong kue di atas meja.

"Ini buatku ya Yang," kataku sambil menarik piring putih kecil berisi sepotong kue itu. Aku menatap matanya lekat-lekat. Aku ingin tahu reaksinya atas setiap kata yang terucap dari bibirku.

"Kalau seandainya habis makan ini, aku jadi gendut, kamu masih sayang gak samaku?"

Dia mengembuskan asap dari sebatang rokok yang diisapnya setelah minum cokelat. Matanya lari ke mana-mana. Tidak tahu apa yang dipandangnya.

"Yang." 

Aku berusaha menarik perhatiannya.

"Hmm,,,"

Ia bergumam kecil, tak jelas mengeluarkan kata apa.

"Bagaimana? Kalau aku gendut, kamu masih setia tidak?"

Meskipun aku sudah bekas dua orang, untuk ukuran janda, tubuhku masih aduhai, bak gitar spanyol. Gaun yang aku kenakan waktu gadis masih muat. Ia juga tidak sulit menemukan ukuran celanaku.

"Ma..ma..sih...lah...," katanya pelan. 

Mengapa dia gagap? Aku jadi ragu, apa benar dia mau bersama wanita gendut? Bukankah setiap lelaki suka dengan wanita bahenol, langsing, dan gendut di beberapa tempat saja? Mendengar nada suaranya yang tersendat itu, aku merasa dia berbohong. Matanya masih lari ke mana-mana.

"Benar, kamu akan setia padaku, meski nanti setelah punya anak, badanku melar ke sana sini?"

Ia hanya mengangguk kecil. Ia mengisap rokoknya lagi. Aku menancapkan batang cokelat yang begitu manis itu dengan garpu, lalu menghadapkan padanya.

"Kamu suka yang manis atau yang cantik?"

"Hmm..."

"Yang manislah, seperti kamu, Yang. Lebih manis malah daripada cokelat itu."

Aku menelan ludah. Tumben dia merayu. Biasanya begitu kaku, seperti tiang listrik di tepi jalan.

"Jadi menurutmu, aku tidak cantik, tetapi manis?"

"Bukan... bukan begitu. Kamu cantik. Betul-betul cantik. Tetapi, aku lebih suka dengan senyummu yang manis itu."

Ia kembali merayu. Darahku mengapa tiba-tiba berdesir? Bukankah seharusnya pengalamanku membuat hal ini terdengar seperti biasa saja? Apakah kekuatan cinta memang selalu dahsyat setiap waktu?

"Kalau bibirku sudah tidak semok, terus banyak keriput, lalu manisnya berkurang, kamu masih setia?"

"Masihlaaahhh. Masih ada matamu yang lentik, hidungmu yang mancung, pipimu yang tirus, semuanya begitu manis bagiku."

Hoeeek. Aku serasa ingin muntah.

"Kalau begitu, kue ini untukmu saja. Sayang nanti kalau aku gendut. Aku pun sudah manis. Jadi, tidak perlu lagi ditambah cokelat manis ini." Aku menyodorkan piring itu padanya.

"Untukmu saja, Yang. Aku sudah kenyang." Dia menahan piring itu. Lalu ia menggesernya sampai tepat berada di tengah-tengah meja kami.

"Apa kamu takut badanmu melar?" tanyaku padanya. Aku tahu dia sangat memerhatikan badannya. Badannya begitu atletis. Ototnya kekar. Perutnya kotak-kotak. Itu memang selalu ia jaga, karena tuntutan pekerjaannya sebagai model. Sepotong kue black forest ini harus dia bakar kalorinya dengan angkat beban berpuluh-puluh kali, agar tubuhnya tetap indah.

Tetapi, kadang aku khawatir juga, ketika ia membuka baju di depan para wanita, mereka kerap kulihat histeris memandangnya. Pernah sekali dia terlambat menjemputku, karena sesi fotonya belum usai. Padahal aku tahu dari temannya, dia berbohong. Bahaya juga kalau dia ternyata terpincut dengan salah satu penggemarnya.

"Bukan. Bukan karena itu."

Aku memicingkan mata. Matanya tetap lari ke mana-mana. Dari tadi dia berbicara tanpa memandangku. Karena pelayan kafe mulai membereskan beberapa kursi dan meja, kami memutuskan beranjak pulang.

Menurutmu, dia tipe calon suami setia tidak? Apakah aku harus mencari pasangan lain? Apakah aku sebaiknya pura-pura sakit dan membatalkan pernikahan besok? Apakah aku benar-benar bisa sepenuhnya menggantungkan hidupku selamanya, bersama calon-calon anakku, pada lelaki di depanku ini?

Pikiranku malah melayang pada sepotong kue itu. Tertinggal sendirian di atas meja. Tanpa ada yang menyentuh, tanpa ada yang melirik, dalam malam yang semakin kelam.

...

Jakarta

20 Maret 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun