"Bagaimana? Kalau aku gendut, kamu masih setia tidak?"
Meskipun aku sudah bekas dua orang, untuk ukuran janda, tubuhku masih aduhai, bak gitar spanyol. Gaun yang aku kenakan waktu gadis masih muat. Ia juga tidak sulit menemukan ukuran celanaku.
"Ma..ma..sih...lah...," katanya pelan.Â
Mengapa dia gagap? Aku jadi ragu, apa benar dia mau bersama wanita gendut? Bukankah setiap lelaki suka dengan wanita bahenol, langsing, dan gendut di beberapa tempat saja? Mendengar nada suaranya yang tersendat itu, aku merasa dia berbohong. Matanya masih lari ke mana-mana.
"Benar, kamu akan setia padaku, meski nanti setelah punya anak, badanku melar ke sana sini?"
Ia hanya mengangguk kecil. Ia mengisap rokoknya lagi. Aku menancapkan batang cokelat yang begitu manis itu dengan garpu, lalu menghadapkan padanya.
"Kamu suka yang manis atau yang cantik?"
"Hmm..."
"Yang manislah, seperti kamu, Yang. Lebih manis malah daripada cokelat itu."
Aku menelan ludah. Tumben dia merayu. Biasanya begitu kaku, seperti tiang listrik di tepi jalan.
"Jadi menurutmu, aku tidak cantik, tetapi manis?"