Sambil tangannya memijat-mijat pundak istri saya, ia bercerita.
"Dulu, waktu ayah Arimin meninggal, Arimin tidak melaksanakan perintah ayahnya. Dia begitu saja menguburkan ayahnya tanpa mengundang saudara-saudara. Yang paling aneh, bisa pula seenak udelnya dia mengabaikan kebiasaan keluarga kita yang sudah berlangsung turun-temurun."
Sambil telinga saya mendengar, saya melayangkan pandang ke arah peti. Adik ipar saya mengambil sebuah kain, lalu mengelap satu demi satu perhiasan mendiang, yang saya tahu semuanya asli emas dua puluh empat karat. Asli ada surat-surat. Asli pula semuanya itu hasil jerih payah ayah bekerja dan sepertinya tidak ingin ia bagikan kepada anak-anaknya.
Sebetulnya tidak jelas, tidak ingin atau tidak. Sebelum meninggal, ayah hanya berpesan melalui ucapannya yang terbata-bata dan lirih terdengar, agar perhiasan yang tersisa di lemarinya dikuburkan bersamanya.Â
Katanya, itu menjadi penghiburan baginya saat nanti tinggal dalam tanah. Itu bisa membahagiakan pikirannya karena begitu ampuh menghilangkan kesepiannya terkubur sendirian. Hatinya pun serasa tenang karena sampai akhir hayat ia masih menikmati hartanya. Saya tidak serius mendengar, karena saya memang tidak bisa percaya perkataannya.
Bagaimana orang mati bisa bahagia melihat emas di dalam tanah? Apakah di dalam kubur dia kemudian perlahan hidup, lalu mengangkat kedua tangan dan tersenyum puas melihat cincin-cincinnya berkilauan? Apakah dia merasa bangga bisa mati sebagai orang berada, dengan tanda ada banyak perhiasan emas melekat pada tubuhnya sehingga terlihat dan menjadi disegani oleh banyak pelayat?
"Maksud kamu, Arimin didatangi arwah ayahnya begitu?" Saya mencoba mengingat kejadian sepuluh tahun silam. Meskipun saya tidak hadir di pemakaman, peristiwa itu saya dengar sendiri dari kakak Arimin yang akhirnya capai menemani Arimin tidur setiap malam, sekadar menghibur hatinya dan memberi nasihat agar pesan ayahnya dia lakukan.
"Betul sekali Mas."
Tetapi apa iya, arwah orang mati bisa masuk dalam mimpi dan menagih-nagih perhiasannya untuk dikubur dalam kuburannya, dan terus-terusan menakuti sampai akhirnya Arimin benar-benar menguburkannya? Saya masih tidak percaya.
Selepas semua pelayat menaburkan bunga dalam peti dan tangisan perlahan-lahan reda, sehingga situasi menjadi lebih kondusif dan upacara pemakaman bisa dilangsungkan, akhirnya peti berwarna cokelat itu ditutup. Ada jenazah ayah bersama perhiasan-perhiasannya, siap dikubur ke liang lahat dan menyatu membusuk bersama debu tanah.
Istri saya dengan pipinya yang begitu basah menyampaikan pidato perkabungan. Saya masih saja berpikir tentang perhiasan itu. Betapa sayang perhiasan itu terkubur di sana. Alangkah lebih berguna bila perhiasan itu dijual dan uangnya diberikan pada orang yang lebih membutuhkan.Â