Pada mulanya saya tidak setuju bila hal itu dilakukan. Saya orang pertama dan terdepan bersikeras meminta agar kebiasaan itu dihapuskan saja. Itu begitu sia-sia dan malah berpotensi memancing kejahatan.
Sudah beberapa kali pertemuan diadakan, terus-terusan saya berpendapat, tetap saja mereka bersikukuh melakukan pesannya. Saya telah coba merayu beberapa anggota, tetapi mereka sedikit pun tidak goyah. Mereka takut, hal-hal yang tidak diinginkan datang menghantui kehidupannya.
"Mas, apa Mas lupa, Arimin, sepupu kita itu, tidak bisa tidur bermalam-malam selepas pemakaman ayahnya," kata seorang saudara ketika upacara tutup peti ayah mertua saya hampir selesai.
Perkataannya terdengar samar melintas di udara, terkalahkan oleh begitu kencang tangisan istri saya, melihat bapaknya untuk terakhir kali. Ia menggoyang-goyangkan peti. Dirabanya jenazah itu dan diciumnya lagi dan lagi. Sudah lima kali ia mengarahkan kedua telapak tangan kepada petugas pemakaman, menyiratkan mereka agar tidak cepat-cepat menutup peti.
Istri saya terus saja menangis. Tanpa berkata-kata, isaknya semakin menjadi. Sebagian saudara di sekelilingnya menepuk pundaknya. Sebagian lagi mengambil minyak kayu putih dan segera mengoleskan pada dahinya.Â
Mereka berharap istri saya kuat melepaskan kepergian mendiang dan berusaha mencegah agar tidak semaput, karena mereka tahu siapa lagi yang cakap memimpin pidato perkabungan selain istri saya.
Air matanya membasahi jas hitam mendiang. Beberapa tetesnya menitik ke kalung yang bertumpuk-tumpuk begitu rapi di leher mendiang, membuat sinar kuning keemasan kalung itu menjadi begitu berkilau.Â
Cincin-cincin emas yang begitu banyak terpasang pada setiap jari mendiang tidak kalah bersinar, setelah terciprat air duka berbau bunga kamboja dari para pelayat. Belum lagi tongkat emas yang membantu mendiang berjalan di akhir-akhir masa hidupnya, sangat mengilat tersorot lampu putih yang terang benderang bercahaya dan cukup panas tepat di atas peti.
"Memang kenapa Arimin?" tanya saya membalas pertanyaan itu. Saya memang mudah lupa. Apalagi masalah utang, saya paling cepat melupakannya.
"Mas betul-betul lupa?"
"Iya, kau tahu kan saya pelupa. Memang kenapa Arimin?"