"Sulepret," penghitung suara membacakan nama. Sebagian kembali bersorak.
"Surimin."
"Sulepret."
"Surimin."
Secara bergantian, nama-nama mengudara di malam yang kian panas. Hampir semua warga berdiri seperti tidak sabar menanti siapa kepala kampung mereka yang baru.
Malam kian larut. Kacang rebus sudah habis. Pisang goreng terlumat tanpa sisa. Sampah-sampah berserakan. Teriakan masih menggema. Posisi suara tujuh puluh lima untuk Sulepret, tujuh puluh lima untuk Surimin.Â
Lelaki yang duduk di mimbar mengerutkan dahi. Dia berbisik ke wanita sebelahnya.
"Apa mereka mulai membangkang, Bu?"
"Bapak sudah kasih belum?"
"Sudah. Saya sudah suruh Jamadi kirim."
Sementara, di belakang balai, dua orang masih bercakap-cakap.