Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sandiwara Kematian

4 November 2020   23:07 Diperbarui: 4 November 2020   23:09 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Batam

"Pak, tolong tarik kursi itu ke sini" Seru Pak RT pada Pak Budi. Beberapa bapak lainnya terlihat membantu. Mereka repot pagi itu. Salah satu warganya meninggal dunia.

Seperti biasa, bila terdengar kabar perkabungan, secara spontan warga lekas berkumpul. Dari kantor kecamatan, mereka gotong royong mengangkut kursi dan tenda, untuk dipasang di depan rumah keluarga yang ditinggalkan.

Pagi itu, tepat pukul enam, Bu Lala berpulang. Dia tak kuat melawan kanker payudara yang telah menyerang sejak enam bulan lalu. Dia terlambat memeriksakan. Sudah stadium parah, baru berobat. Itu kata dokternya.

Suaminya lebih dulu berpulang. Di rumah tak seberapa besar itu, dia tinggal berdua bersama anak bungsunya. Kendati dia bukan orang kaya, di mata warga, dia terbilang berhasil menyekolahkan anaknya.

Yang pertama kerja di ibu kota, perusahaan perminyakan. Kedua, di pulau seberang, perusahaan perkebunan. Nanti pukul sebelas siang, dengan penerbangan pertama, mereka tiba di rumah. Begitu kata si bungsu.

Kursi sudah tertata rapi, bunga-bunga perkabungan tersusun indah. Banyak warga berdatangan di rumah itu. Dia termasuk warga baik. Suka membantu dan aktif di arisan ibu-ibu.

***

"Yang, ayo ke dalam" Kata Rose perlahan. Dia mengajak suaminya masuk ke rumah. Koper di tangan disandarkan di pintu. Dia berlari menemui jenazah ibunya. Tangisan seketika pecah.

"Ibu, kenapa begitu cepat ibu pergi?" Tangan Rose memegang pipi gemuk ibu yang sudah dimandikan. Berulang kali dia cium pipi itu. Sepertinya dia sayang sekali dengan ibu.

 "Huaaa..huaaa...huuaaaaa, Rose belum mau ditinggal ibu" Isak tangis semakin kencang. Lantai itu mulai basah dibanjiri air. Warga di sekeliling ikut merasakan betapa menyedihkan kehilangan siang itu. Sebagian terlihat menitikkan air mata.

Dari kejauhan, seseorang berlari. "Ibuuuuuu" Anak kedua datang. Namanya Santi. Di peti mati ibunya, dia merengek-rengek. Terdengar samar, dia seperti menyalahkan Tuhan.

"Tuhan gag adil, mengapa ibu diambil begitu cepat. Aku sayang ibu" Sama seperti kakaknya, pipi hingga bahu mereka basah semua. Tangisan kesedihan menyelimuti ruangan. Aku pun tak tahan melihat. Kendati tidak terhitung tetangga dekat, aku tetap merasakan kehilangan.

***

Di sudut ruang tamu, Bu Andi, tetangga tepat sebelah rumah Bu Lala, tersenyum. Pipinya sangat kering. Dia terlihat tidak terhanyut dengan suasana perkabungan. Kuhampiri dia. 

"Bu Andi gag sedih? Anak-anaknya kehilangan banget ya, Bu" Tiba-tiba Bu Andi menarikku keluar. Ke rumahnya di sebelah. "Aku pengen tertawa, Bu"

Sejenak aku terheran. Kok bisa, orang lagi sedih, dia malah tertawa. "Tertawa kenapa Bu?" Tanyaku menyelidiki. "Buat apa mereka nangis-nangis, gag guna!" Jawab Bu Andi ketus.

"Maksud ibu?"

"Gini ya, kujelasin. Ketika Bu Lala masih hidup, dia pernah bercerita. Kedua anaknya takada yang memedulikan. Dia hidup hanya dari pensiunan janda. Sepeserpun sulit keluar dari mereka"

"Setiap hari, selalu Bu Lala yang menelepon mereka, menanyakan kabar. Bila tidak begitu, takada komunikasi sama sekali. Berharap mereka bertanya, jangan mimpi. Bu Lala pernah kecewa, beberapa hari tak pernah disapa"

"Berapa kali mereka pulang ke rumah saja, bisa dihitung dengan jari. Bahkan, si Rose itu, yang hanya tiga jam dari sini, jarang sekali datang. Bu Lala selalu bilang kesepian. Untung, masih ada si bungsu"

"Selagi hidup diabaikan, sesudah mati disayang-sayang. Buat apa?" Bu Andi menyimpulkan ceritanya. Dia tahu benar kisah itu. Sebagai tetangga dekat, Bu Lala sering main ke rumahnya.

Mendengar ucapannya, aku tertegun. Aku tertipu. Mereka berhasil bersandiwara. Di depan kematian.

...

Jakarta

4 November 2020

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun