Aku memuji mentari. Setidaknya ada tiga filosofi yang kudapat darinya untuk diri. Kendati aku tidak mampu lama-lama memandangi, selama menatap cantik parasmu wahai pujaan hati, mataku bersama otakku tetap bisa bersinergi, menyerap darinya berbagai sari pati.
Terkadang hingga sering, aku kalah awal dengannya dalam menyambut pagi. Saatku masih asyik terbuai bersama mimpi, dia sudah hadir menampakkan diri. Ditemani nyanyian ayam dan setetes embun di selembar daun, disiplin dalam diajarkannya lambat laun.
Disiplin dia kerjakan tanpa memandang hari. Baik tanggal muda maupun tua, tidak sedikitpun bisa menggoyahkannya. Di setiap saat, ketika sedang nikmat, dalam beragam penat, bahkan terkadang sesat, disiplin selalu dituntaskan secara hebat. Konsistensi semakin diperkuat.
Selama masa kerja kurang lebih dua belas jam, dia selalu berusaha memberi kehangatan, sebelum memasuki dinginnya malam. Meskipun upaya sering terhalang awan-awan, dia tidak mengingkari tugas sebagai penerang alam. Sudahkah kita memberi kehangatan dalam kehidupan? Atau malah menjadi sosok yang mematikan?
Bila mentari tidak bersinar lagi, siapa lagi yang menjadi guruku dalam hidup ini?
...
Jakarta
10 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat